Kenyataan yang pahit

86 49 19
                                    

Nextt cerita Jadiann yeay! Tapi apa apaan ini?

Menjadi bisu selama seminggu sudah cukup buruk bagiku. Baru saja kami baikan setelah saling diam selama itu, sekarang rasanya dia baru saja mencabut paksa jantungku dari rongga dada.

“Bukan karena orang lain atau kamu ngelakuin salah. Aku ... aku harus pergi ke Adelaide, Australia” jelasnya, membuatku—entahlah. Ini perasaan yang sulit dijelaskan.

“Aku takut nyiksa kamu kalau harus jauh-jauhan.”

Aku diam. Athaya benar, selama ini bisa dibilang aku sudah ketergantungan padanya. Ya, sejak kecil  aku sudah terbiasa dengannya. Aku sudah terbiasa bergantung pada kebaikannya. Aku sudah terbiasa bergantung pada rasa cintanya. Jika tiba-tiba dia harus pergi, apa aku ... bisa?

“Bestari ....” Dia menggenggam jemariku.
Aku masih diam. Lama, hingga kudengar Alvaro memanggil namaku berkali-kali.

“Alvaro ....” Aku memanggilnya dengan suara parau.

“Kamu mau kuliah, ya?” tebakku.

Alvaro menggeleng, kemudian menjelaskan bahwa itu permintaan ayahnya. Teman karib dari ayah Alvaro punya restoran bintang lima yang cukup bagus perkembangannya di Adelaiee. Lalu, menawarkan pekerjaan untuk Alvaro setelah dia menyelesaikan ujian akhir.

“Oh ..., gitu. Harus banget ke luar negeri?” Sekarang suaraku malah mulai hilang, entah dia dengar atau tidak.

“Ya ... tiketnya udah ada. Tinggal berangkat.”

Dengan sudut mata aku melihatnya menatapku dari samping, sementara aku masih fokus ke depan. Orang-orang yang lalu lalang mulai kabur dari pandangan. Lalu, bayangan tentang hal-hal yang pernah kulakukan dengan Alvaro seperti ditayangkan ulang di kepala. Saat-saat awal kami berbicara, saling bully, bercanda, bercerita, kemudian tertawa, bahkan ... ketika kami berselisih paham.

Sesuatu menetes dari mata, disusul tetes-tetes lainnya.

“Aku udah pertimbangin matang-matang. Tadinya ragu, apalagi bayangin masih ada kamu di sini. Tapi kalau dipikir lagi, aku bisa kerja sambil kuliah juga di sana.”

Alvaro mengangkat tangannya, menyeka air mataku.

“Yang paling bikin sulit buat pergi itu kamu. Bayangin kamu sendirian di sini, bayangin kamu nangis, itu nyakitin aku. Sebenernya aku nggak masalah LDR-an, tapi kalau kamu keberatan, nggak apa-apa kalau kita udahan. Tapi, please, jangan nangis lagi.”

Bukannya reda, tangisku malah menjadi.
Aku tidak mau jadi penghalang. Alvaro punya mimpi yang harus diwujudkan. Dia sudah melakukan banyak untukku. Sakit, tapi aku tidak boleh seegois ini.
Dengan sisa air mata, aku mengalihkan pandangan ke Alvaro yang menatapku dalam-dalam. Kupaksakan sebuah senyuman.

“Tapi, jangan lama-lama lulusnya,” ujarku pasrah.

***

Alvaro terdiam, begitu pun denganku. Aku hanya menggigit bibir bawahku, sedikit gugup.

“Gimana ujiannya?” tanyaku memecah hening.

Rasanya agak kaku, padahal baru lima hari kami tidak bertemu. Kami membuat kesepakatan untuk tidak bertemu selama Alvaro ujian. Itu ideku, awalnya dia agak keberatan. Tetapi, setelah kubilang, dengan nada sedikit bercanda, sekalian latihan LDR-an, dia terpaksa menerima usulan tersebut. Jadi, kami hanya berhubungan lewat media, sekadar chatting.

“Not bad, sih. Nggak susah. Lebih susah nahan diri buat nggak ketemu kamu.”

Aku terkekeh, bisa-bisanya dia menggoda.
Kemarin, ujian akhir Alvaro benar-benar berakhir. Dia lega, katanya. Bahkan sempat bilang dia yakin seratus satu persen nilainya akan jadi yang terbaik sekelas. Aku tertawa bermenit-menit saat membaca chat darinya tadi siang.  Lalu, sempat menyindirnya dengan bertanya apa tidak ada perayaan untuk pencapaian besar tersebut. Dan di sinilah kami, duduk berhadapan dengan dua cangkir Mocca di meja. Perayaan atas nilai Alvaro yang belum keluar, juga kencan terakhir sebelum dia pergi ... lusa.

🇦🇺 Adelaide To Melbourne 🇦🇺Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang