[2] Quiet Down

559 115 28
                                    

|RELOAD : 2. Quiet Down|

***

Bandung, September 2015

"Senternya diturunin kebawah dek! Saya tanya sekali lagi sebelum kalian lanjut ke pos berikutnya. Ada yang sakit?"

"Siap tidak kak!"

"Kalian tahu kan kalau salah satu dari kalian egois? Dampaknya keseluruh anggota yang repot. Silahkan lanjutkan perjalanan kalian ke pos terakhir, hormati kakak yang berbicara. Jika ditanya segera dijawab." Ujarku memberikan petuah pada adik-adik yang melakukan jurit malam. Aku menghitung jumlah keseluruhan; ada dua belas anak.

"Terakhir, jaga diri sendiri dan anggota kalian. Dihitung, jangan sampai ada yang kurang apalagi nambah!"

"Kaakk... Jangan nakut-nakutin."

"Siapa yang nakut-nakutin! Saya serius." Tegasku dengan nada tinggi yang membuat seluruh pleton terdiam seketika.

Jujur sebenarnya kata-kata Abim saat itu ada benarnya. Mental anak jaman sekarang mulai melemah, sedikit saja diberi tugas banyak protesnya. Banyak tanyanya padahal bisa membaca. Entah karena pengaruh perkembangan zaman atau apa.

"Yasudah, silahkan lanjut ke pos berikutnya. Kalian kelompok terakhir, hati-hati. Untuk LO tolong dampingi adik-adiknya." Dion menutup percakapan kami dengan pleton terakhir yang langsung bergerak setelah memberikan penghormatan.

"Pembimbingnya siapa sih?" Tanyaku.

"Meta, sekelas sama Rhiu."

"Pantes." Ujarku seraya memutar mata kesal.

Entah kenapa Meta dan Rhiu dari awal aku kurang menyukai presensi mereka. Mungkin karena aku pernah punya pengalaman buruk dengan Neira, teman segeng mereka yang menyukai Wondy. Sumpah demi apa, terang-terangan mereka menyindirku, yang bilang aku cari perhatian ke Wondy mentang-mentang sekretaris himpunan. Sok-sokan garang nggak bisa santailah, lebaylah, jadi manusia kaku amat sama aturan.

Mereka kira aku nggak punya telinga!

Tapi entah kenapa aku merasa aneh. Mataku menyipit kala melihat sorotan senter dari kejauhan arah pleton terakhir berjalan. Harusnya mereka tinggal berjalan lurus. Tapi entah kenapa sorotan cahaya seolah menunjukkan mereka berbelok kekiri - keluar jalur. Jangan-jangan Meta tidak memperhatikan arahan Silmi dan Atta yang merubah jalur penjelajahan. Karena ditengah sana ada anak sungai yang meskipun dangkal tapi penuh bebatuan dan licin. Setidaknya aku harus memastikan daripada terjadi hal yang tak diinginkan.

"Yon, balik dulu gih. Jangan lupa bawa alat-alatnya ke ground ya."

"Lah? Mau ngapain lo? Kagak ada, bareng-bareng lah harusnya. Ntar lo yang ilang."

"Nggak-nggak, gue cuman ngecek bentar. Cepetan balik, bantuin buat malam renungan." Tegasku.

Memastikan bahwa setelahnya aku akan segera menyusul Dion untuk kembali ke titik kumpul peserta lainnya. Bisa kulihat ada raut cemas di wajah Dion sebelum akhirnya ia mengambil senter dan kotak yang akan dibawa kembali ke ground.

"Lo emang kagak ada takut-takutnya ya. Yaudah gue duluan, langsung balik kalo udah, atau hubungin lewat HT, hati-hati lho." Jelas Dion yang kujawab dengan anggukan.

✔ RELOADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang