1. Meet Wima Hadiwinata

19.2K 1.6K 116
                                    

"Gue butuh psikolog." Kupijat pelipisku. Kepalaku rasanya pening. Emosi sudah mencapai ubun-ubun. Kewarasanku cuma tinggal nol koma sekian persen. Kalau begini caranya, lama-lama aku bisa berakhir depresi.

"Ditolak lagi?" Handi menoleh padaku sambil melepas eraphonenya.

Aku mengangguk. "Nggak ngerti lagi gue. Ini sudah tulisan yang kedelapan. Dan si Wima masih nggak puas juga. Gue harus koprol di depannya dulu atau gimana, sih?" Aku duduk sambil menyalakan laptop yang dua jam lalu baru kumatikan gara-gara panggilan sakaratul maut dari Bosku.

"Ah, lo kayak nggak tahu dia aja. Sampai negara Api menyerang, kalau belum sesuai sama yang dia mau tetap nggak akan di-acc."

"Gue curiga dia itu sebenarnya psikopat." Aku pernah baca artikel yang menuliskan ciri-ciri psikopat salah satunya adalah mempunyai kecenderungan perfectsionis atau keinginan untuk serba sempurna.

"Lo kok baru sadarnya sekarang? Ke mana aja lo tiga tahun ini?" Handi memeluk stoples berisi kacang bawangnya sambil ngemil.

"Stres dong gue. Lama-lama bisa anxiety beneran gara-gara Wima. Toxic banget dia." Aku masuk ke kantor ini tiga tahun lalu dan langsung lari maraton di bawah Bos macam Wima. "Engap deh. Dulu gue apply ke sini gara-gara prospek perusahaannya yang menjanjikan." Tiga tahun lalu, aku masih fresh graduate yang sibuk cari kerja sana-sini. CV kusebar kesemua perusahaan yang menjanjikan prospek cemerlang, salah satunya ke perusahaan tempatku bekerja saat ini.

"Kayaknya, hoki lo berhenti di sini." Handi mengejekku sambil tertawa.

"Awas lo, keselek kacang baru tahu rasa." Aku membuka folder kerjaku. Otakku cupet, nyaris nggak mau diajak mikir. Semingguan ini, aku terpaksa lembur untuk katalog bulan depan. Bekerja di bawah kepemimpinan Wima Hadiwinata berarti harus siap dikejar deadline yang benar-benar bikin dead. Kalau dia bilang lari maraton, ya, harus lari maraton beneran. Peduli amat kalau akhirnya harus sesak nafas. Yang terpenting untuk Wima, target terpenuhi dan pekerjaan beres. Soal proses? Mau jungkir balik sambil seriosa, ya, bodo amat!

"Muka atau keset kamar mandi?" Mas Axel yang baru saja datang, menepuk punggungku sambil menyesap kopinya.

"Selamatin gue dong, Mas!"

"Resign aja gih!" Mas Axel membuka ponselnya sambil mengetikkan sesuatu.

"Belum punya better offer."Aku sudah mencoba mencari lowongan di perusahaan lain, tapi penawarannya nggak ada yang sebagus di sini. "Kayaknya, Wima tahu kalau bawahannya menolak anteng, makanya terus-terusan dikasih penawaran bagus," kataku curiga.

"Bisa jadi." Mas Axel mengantongi ponselnya, lalu menyesap kopinya lagi. "Lo diapain lagi sama si Wima?"

"Disuruh koprol sambil nyanyi. Seleksi desain furniture buat katalog bulan depan."

"Bukannya sudah dapat target?"

"Lo kayak nggak tahu Bos yang satu itu. Dapat target sama dengan harus lari lebih kencang. Ini ngalah-ngalahin rencana Handi buat social climbing di instagram."

"Gue famous, nggak perlu social climbing kayak lo." Handi melemparkan satu butir kacang yang mengenai keningku.

"Slepet nih?!" balasku kesal.

Mas Axel tertawa. "Lo kerja keras bagai kuda, biar pemasukan kita tambah banyak." Aku membuka jendela kerja sambil mengumpat-ngumpat dalam hati.

Wima datang sambil memainkan ponselnya. Aku dalam mode siap perang memilih mengabaikan keberadaannya. "La, kita ke BSD."

Ola, Hala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang