2. Bos Yang Bikin Kacung Maksiat

8K 1.2K 46
                                    

"La, feed instagram leh uga. Buatin dong!" Mbak Nisa menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan feed instagram perusahaan.

"Ogah!" tolakku. "Buatnya butuh tiga bulan perjuangan." Ini semua gara-gara Wima yang tiba-tiba saja mengeluh soal feed instagram perusahaan yang katanya nggak rapi. Satu lagi gejala psikopatisme yang kucurigai dari si Bos-OCD parah. Sampai-sampai feed instagram saja harus sesempurna itu.

"Ah, elah lu."

"Pusing gue natanya, Mbak. Itu yang bawah-bawah aja belum rapi. Untung si Wima nggak kurang kerjaan buat scroll sampai bawah-bawah banget." Aku menyimpan tulisanku yang siap diposting untuk artikel blog.

"Gila memang dia." Mbak Nisa merapat. Siap bergosip. "Masa pagi-pagi dia sudah telfon gue. Minta rencana pemasaran buat produk baru yang mau luncur bulan depan."

"Terus terus?"

"Lah kelabakan dong gue. Belum selesai, Sist. Mau ngeles dia sudah terlanjur nyolot, 'Belum dibikin ya, Nis? Lo gimana sih?! Gue sudah minta dari awal bulan!' Nyawa gue langsung siaga satu."

"Wah, parah lo, Mbak. Nggak takut kena amuk nanti?" Wima kalau masalah beginian suka nggak santai. Kalau dia minta hari ini, ya harus hari ini. Nggak bisa ditawar, kecuali dia yang nawar sendiri. Intinya, apa maunya si Bos harus segera terlaksana. Kalau meleset dari ketentuan yang sudah dibuat, siap-siap saja masuk neraka versi Wima, yang berarti para kacung harus siap lembur sampai pagi buta.

"Ya takutlah, tapi gue berusaha sok kuat aja."

Aku ngakak. "Emang sedeng lo, Mbak!"

"La, si Wima nanyain katalognya." Mas Axel yang baru datang menyeret kursi di sebelahku.

"Apa deh? Sudah selesai. Lembur tiada dua gara-gara si Wima kasih perintah tak terduga," keluhku.

"Lo lembur apaan? bukannya si Wima kemarin nyuruh katalognya Senin ini?"

"APAAN?! Hoaks banget!!!" Aku gemas. "Jadinya Jumat malam. Setelah pulang dari pameran, gue lembur sampai jam empat subuh."

"Gila!" Mas Axel terbahak-bahak.

"Kenapa deh?" tanya Mbak Nisa. Lalu kujelaskan padanya mengenai peristiwa perintah jahiliyah si Bos.

"Menurut lo, slepet jangan nih, Mbak?" Aku meminta pertimbangan.

"Slepetlah. Parah amat. Kalau gue sudah ngamuk-ngamuk tuh." Mbak Nisa mengompori. "Lagian, si Wima kebiasaan kalau sama lo, suka kasih perintah mendadak."

"Kan, kasihan gue?!"

"Apalagi sejak lo kerja di bawah tanggung jawabnya si Wima."

Aku juga merasa begitu. Wima suka nggak kasih kendor. Dipikir nulis itu cuma ngetik-ngetik doang nggak pakai mikir? Padahal aku juga butuh inspirasi, tenaga, dan riset. Belum lagi, desain furniture itu diluar bidang keahlianku yang kuliah hukum.

"Ngenes, 'kan?!"

"Kenapa lo nggak resign aja?" tanya Mbak Nisa penasaran. "Ketimbang lo makan ati terus sama si Wima."

"Maunya!!!"

"Lo anak hukum, bukan? Nggak mau jadi pengacara? Kan gede tuh gajinya," saran Mas Axel.

"Biar kayak Hotman Paris, ya, gue? Pakai berlian di mana-mana."

"Kinclong," timpal Mbak Nisa. Kami semua terbahak-bahak.

"Nis, proposal lo gue tungguin sebelum jam makan siang." Wima tiba-tiba datang.

Mbak Nisa melirikku sambil komat-kamit. Mampus deh! Aku tahu kalau proposalnya baru setengah jadi.

"Oke, Wim." Mukanya Mbak Nisa tegang banget. Kalau aku sudah pasti mules menghadapi Wima.

"La, tolong buat ulasan untuk desain barunya si Arda!"

Aku gelagapan. "Iya, Pak." Kupikir kemudian Wima bakal masuk dan mendekam di kantornya, tapi dia justru menarik kursi kosong dan duduk di sampingku. "Ngapain, Pak?"

"Periksa tulisan kamu untuk pameran kemarin."

"Lah, bukannya sudah saya kirim lewat email?" tanyaku keheranan.

"Belum sempat saya buka," jawabnya kalem.

YA ALLAH!!! Aku bikinnya sambil lembur-lembur, woy!!! Tega amat!!!

Aku membuka file yang Wima maksud sambil merapal dalam hati supaya nggak mengumpati dia. Mas Axel melirikku dengan wajah geli, sedangkan Mbak Nisa sudah khusyuk dengan proposal yang harus dia selesaikan.

"Yang ini nggak kamu tambahin fotonya?" Wima mengomentari beberapa bagian yang tidak kutempeli foto.

"Nggak dapat angel yang bagus, Pak," jawabku sekenanya.

"Memangnya kemarin kamu sibuk ngeliatin apa?" Nah, 'kan? Nyinyirnya ngalah-ngalahin admin akun gosip.

"Ya, kan saya sibuk ngikutin, Bapak."

Wima melihatku seakan-akan aku ini makhluk yang nggak punya kompetensi apa pun. Alisnya naik sebelah, dan matanya menyorot penuh tuduhan. Kalau sedang dalam mode menghakimi begini, Wima adalah si perusak kepercayaan diri. Kemampuannya untuk bikin orang merasa goblok itu juara banget.

"Kamu bilang dong! Kalau kayak gini terus mau gimana? Artikel yang nggak estetik bikin orang jadi malas baca," katanya menghakimi.

Ya Tuhanku, rasanya ingin sekali kucakar-cakar wajah Bosku yang ganteng ini.

Aku diam saja, males meladeni Wima. Dia sibuk mengutak-atik ponselnya selama beberapa saat, kemudian mengembalikan atensinya padaku. "Sudah saya kirim lewat email. Satu jam lagi saya tunggu finishing-nya." Dia lalu masuk ke dalam ruangannya begitu saja.

"Astaga, mau maksiat aja rasanya." Wima sungguh nggak punya hati dan empati. Bingung! Dulu ibunya ngidam apa coba waktu hamil dia?

"Lo coba susun rencana buat mengahabisi kearoganan si Wima," usul Mbak Nisa tanpa menolehkan wajahnya dari layar komputer.

Aku membuka email, mengunduh foto yang tadi dikirim oleh Wima. "Racun sianida sudah ketinggalan zaman belum?"

"Kreatif dikit kek," cela Mas Axel. "Hari gini, racun udah nggak main."

"Terus apa dong?" Aku masih menunggu proses pengunduhan yang belum selesai.

Mata Mas Axel berkilat-kilat jenaka. "Pelet, La. Pelet."

Mbak Nisa terbahak-bahak. "Gue pesenin di marketplace, mau?"

Aku mendengkus. "Ya, kali Wima bisa ditembus pake pelet. Setan aja kalah serem sama dia."

#

Ola, Hala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang