3. Ketemu Mantannya Bos

7.4K 1.2K 34
                                    

Aku yakin Wima itu memang psikopat. Dugaanku semakin kuat saat tengah malam dia tiba-tiba meneleponku hanya untuk membicarakan pekerjaan. Wah, aku mulai curiga. Jangan-jangan, status sebagai content creator itu cuma akal-akalan Wima untuk membuatku takluk di bawah kekuasaannya. Kalau begini, aku lebih mirip asisten pribadinya, ketimbang karyawan kantor biasa.

"Kamu besok ikut saya ke Singapura untuk ngecek galeri kita yang di sana."

Oke. Mataku yang tadinya cuma tinggal lima watt, sekarang jadi terang bederang.

"Pak, saya belum pesan tiket." Aku mengusap wajah, frustrasi.

"Saya sudah dapat."

Nggak ada jalan untuk mengelak. Wima semakin terdepan.

"Ya, Pak?"

"Ngantuk kamu, La?" Nada suara Wima mengisyaratkan seolah-olah ngantuk dijam segini adalah sebuah dosa besar. Demi pabrik coklatnya Willy Wonka, sekarang sudah jam sebelas lebih. Hampir jam dua belas malam malah. Ngantuk dijam segini adalah kewajaran. Justru yang nggak wajar itu adalah bosku. Ngapain malam-malam punya ide untuk ngecek galeri di Singapura? Padahal setahuku, jadwal pengecekannya masih sekitar setengah bulan lagi. Lagipula setiap bulan, manager galeri yang di sana rutin datang ke Jakarta untuk melapor ke Wima.

"Banget, Pak. Hampir tengah malam nih," sindirku.

"Saya kira kamu masih lembur."

"Ya, masa setiap hari saya lembur terus, Pak?" Ya kali!

"Ya sudah, saya tutup teleponnya. Selamat malam!"

Sudah. Begitu saja. Fix! Aku memantapkan hati. Wima Hadiwinata memang benar-benar psikopat.

#

Kami berakhir di Subway begitu keluar dari imigrasi. Aku nggak boleh mengeluh, walaupun rasanya kesal luar biasa. Ini semua disebabkan oleh Wima yang baru mengirimkan jadwal keberangkatan pesawat pagi-pagi buta. Aku nggak sempat sarapan. Ya, mana sempat?! Orang waras mana yang tahu kalau pesawatnya terbang pukul delapan pagi, tapi baru memberi tahu di pukul setengah enam pagi? Nggak ada 'kan? NGGAK ADA!!! Kecuali, kalau kamu punya bos macam Wima Hadiwinata yang menganggap seluruh dunia berpusat padanya.

Ya Tuhan!!! Nasib kacung kasta terbawah kok gini amat? Mau bilang kecewa, tapi takut celaka. Mau kesal, mending makan hati daripada kena amarah bos. Bisa-bisanya aku betah bekerja pada pria ini selama tiga tahun terakhir? Ya, karena lo mentok, La. Emang ada alasan lain?

Ya, nggak ada. Emang sudah mentok saja, daripada harus ngutak-atik jurnal hukum lagi. Bekerja pada Wima nggak ubahnya ajang mengulur waktu di bawah tekanan Mbak Raya—kakak perempuanku—yang terus mendesak untuk menekuni dunia hukum. Nggak tahu saja dia, alasanku dulu dibalik memilih jurusan hukum dan kuliah di Jogja.

Begitu melihat gerai Subway, aku langsung tancap gas, tanpa mau mengalah pada Wima. Aku memesan paket reguler. Mumpung gratis, jadi jangan harap untuk menahan diri. Prinsip pertama manusia gratisan adalah jangan sok tahu malu. Prinsip kedua, jangan sok malu-malu. Prinsip ketiga, malu-malu pangkal rugi. Jadi, kesimpulannya, kalau punya jiwa gratisan, maka jadilah kaum yang nggak punya malu, asal jangan beralih jadi manusia oportunis.

Hal pertama yang aku tunjuk setelah memilih roti Italian adalah acar. Aku suka acarnya! Aku suka acarnya! Aku suka acarnya! Siapa yang bisa nyaingin acarnya Subway? Nggak ada! Sumpah, acarnya enak banget. Perpaduan segar dan asamnya original. Nggk pernah kutemukan di mana-mana. Setelah melengkapi sandwichku dengan paperoni, dan macam-macam daging lainnya, aku menambah pesananku dengan yoghurt dan kopi.

"Can you make it two?" kata Wima yang berdiri di belakangku.

"Sure." Mbak-Mbak Subway tadi membuat pesananku menjadi dua. Aku membiarkan Wima yang membawa nampan setelah dia membayar di kasir. Kami mencari tempat kosong ditengah ramainya pengunjung. Satu-satunya tempat yang tersisa adalah meja yang terletak di sudut terluar.

Aku mengeluarkan ponsel untuk memfoto makananku guna kebutuhan pamer ke Mbak Nisa.

"Kenapa cewek kalau mau makan harus pakai difoto dulu makanannya?" tanya Wima, nyinyir.

"Demi eksistensi diri, Pak," jawabku sekenanya sambil mengirim foto tersebut ke Mbak Nisa.

Hala Tarisa : Dibeliin si Bos dong!!!

Mbak Nisa : Wima kok dermawan banget? Tahu gitu, gue aja yang ikut dia ke Singapura.

"Ribet banget." Wima berdecak, sebelum mulai makan.

Aku melirik saja, memilih membalas pesan Mbak Nisa.

Hala Tarisa : Traktiran kali ini disponsori oleh nyinyirannya si Bos. Gue jadi khawatir, jangan-jangan dia keluarin duitnya nggak ikhlas nih. Takut sakit perut gue.

Mbak Nisa : Halah! Lagak lo pakai mikir segala. Yang penting masuk mulut. Enak. Kenyang. Dan gratis. Sakit perut urusan belakangan.

"Kamu mau makan atau main ponsel?" Teguran Wima mengandung nada-nada penuh peringatan. Aku menyimpan ponsel ke atas meja, menyesap kopi, lalu mengigit sandwichku besar-besar. "Eksistensi memang penting banget sampai-sampai kamu rela nunggu makananmu dingin? Absurd, Hala," komentarnya, nyinyir.

Aku mengabaikannya, memilih untuk menelan sandwichku. Kami menghabiskan sekitar sepuluh menit untuk menandaskan semua menu. Wima tampak sibuk menggulirkan ponselnya, sedangkan aku lebih memilih untuk berbalas pesan dengan anak-anak kantor yang sedang berpesta makan siang gara-gara ditinggal pergi Wima.

Mas Axel : Send a picture.

Hala Tarisa : Lo ngapain makan siang sampai ke PIM segala?!

Mas Axel : Menuju akhir bulan, La. Hedon dikitlah.

Hala Tarisa : Apa-apaan?! Lo tuh ngirit, Mas! Ngirit!!! Katanya resolusi tahun ini nikah.

Mbak Nisa : Si Kampret iri, padahal udah dijajanin Subway sama si Bos.

Mas Axel : Tuh tuh! Padahal ini si Handi yang ngajak jajan sushi.

Hala Tarisa : Si Handi kesempatan. Padahal dia sengaja banget mau cuci mata.

Handi : Lo mending istiqomah aja jalan sama si Bos. Kapan lagi pergi berdua ke Singapura sama Wima Hadiwinata?

Hala Tarisa : Kok gue nggak bangga, ya? Biasa aja.

Mas Axel : Wima royal kali, La, kalau ngajak jalan karyawan. Kapan hari gue kunjungan sama dia ke Surabaya diajak makan di restoran hotel bintang lima.

Mbak Nisa : Ya Allah, seleranya Wima. Kok gue nggak pernah diajak makan ditempat enak, sih? Yang ada kalau pergi sama gue makannya soto mulu.

Aku mengatupkan bibir kuat-kuat untuk menahan tawaku yang hampir saja lolos. Wima dan soto adalah kolaborasi tiada tanding. Heran, tampang bule, badan kayak binaragawan, tapi hobinya makan soto. Obsesi Wima pada soto sudah menjadi rahasia umum diantara para karyawannya. Mau pergi kemana pun, yang Wima tanyakan pertama kali adalah warung soto paling enak di kota tersebut.

Di kantor pun juga begitu. Kayaknya Wima nyaris sudah pernah order bermacam-macam jenis soto diseluruh Jakarta pakai layanan ojek online. Dia cuma akan berganti menu kalau sudah mentok, atau kalau anak-anak lain protes dan ingin ditraktir makan di tempat yang hedon.

Ya, wajarlah. Kantongnya Wima kan lumayan. Masa jajannya soto mulu. Itu makan siang ngirit atau medit?

"Ayo! Albert sudah di luar."

Albert ini manager galeri di Singapura yang kata Mbak Nisa wajahnya hampir-hampir mirip dengan salah satu personil boyband Korea favoritnya cuma gara-gara matanya yang sipit dan kulit putihnya yang mendekati pucat. Aku mencangklongkan tasku kembali. Kami baru berjalan sekitar tiga meter saat seorang wanita secantik Blake Lively tiba-tiba menghampiri Wima, kemudian menyapa bosku dengan kalimat, "Hai, Ex." Yang dibalas dengan senyum canggung oleh si bos.

Aku mengerjapkan mata, setengah nggak terima. Ex itu buat mantan, 'kan? Kok dunia gin-gini amat? Bisa-bisanya mantannya Wima cewek pirang nggak ada celanya begitu? Mau minder, tapi tanganku malah dengan refleks bergerak membuka grup chat bersama anak-anak. Melaporkan gosip yang terpantau langsung di depan mata dengan hati yang sedikit dongkol gara-gara kecantikan mantannya si Bos.

Ya, aku iri. Gimana ceritanya Wima yang sengak bisa punya mantan secantik Blake Lively?

Hala Tarisa : ASAP!!! Gue ketemu mantannya Wima.

#

Ola, Hala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang