DASTER ISTRIKUSenyum tersungging dari sudut bibirku saat keluar dari pekarangan rumah Bu Tati. Kugenggam erat amplop yang baru saja diberikannya. Hasil mengantar jemput sekolah anaknya yang masih SD dengan sepeda motor butut satu-satunya yang kupunya.
“Ini Pak, ongkos ojek Aulia bulan ini. 24 hari jadi 240 ribu, saya genapkan 250 ribu. Semoga bermanfaat ya Pak,” ujar Bu Tati sesaat menyerahkan amplop.
Mengojek, profesi yang terpaksa kulakoni sejak di PHK dari pabrik roti dekat rumah. Pesangon yang tidak seberapa kubelikan motor lama dan kugunakan untuk mengojek.
Memang hasilnya sangat pas-pasan, hanya cukup untuk makan sehari kami berlima. Untuk menambah pemasukan, Ratmi, istriku berjualan aneka jajanan. Hasilnya cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan sekolah Riska, Anas, dan Tri.
Bukan tak ada usaha lain yang kucoba. Ijazah SMA yang kupunya sudah kumasukkan kesana kemari namun belum pernah ada panggilan.
Aku melangkah keluar dari rumah besar itu dan memacu motor perlahan ke arah pasar, berharap mendapat penumpang. Sejenak berhenti di jalan masuk ke pasar, melihat kiri dan kanan sekiranya ada calon penumpang yang butuh tumpangan.
Seketika mataku tertuju kepada salah satu pedagang baju daster dengan suara cemprengnya di sudut pasar.
“Mari Bu Ibu.. Mak Emak.. Nda Bunda.. Mi Ummi.. dipiliihh.. dipiliihh.. baju dinas adem.. daster murah.. bikin tambah disayang suami..” teriaknya dengan penuh semangat.
Kuarahkan laju motor ke arah sana.
“Mari Pak.. dipilih buat nyonyah di rumah, muriih..murihh..gurihh… “ tawarnya ramah saat motorku semakin mendekat. Aku turun dari sepeda motor.
“Berapa ini Bang?”
“Murah saja, Pak. Dua puluh lima rebu.”
Kuraih baju yang terpajang, kuraba kainnya. Motif dan modelnya sama persis dengan salah satu yang dimiliki Ratmi, hanya beda warna. Kasar, pasti bahannya panas, pikirku.
Pikiranku melayang pada Ratmi di rumah, beberapa hari yang lalu kulihat dia duduk terpekur hingga tak menyadari kehadiranku sepulang mengojek. Ternyata dia sedang menjahit bagian dasternya yang sudah robek.
“Ah, hanya untuk daster murahan seperti ini bahkan tak sanggup mengganti,” bathinku pilu.
“Gak ada yang lebih bagus dari ini Bang?”
“Banyak, Pak. Tapi beda harga. Ini yang dipajang di dalam. Harganya variatif. Yang bagusnya saya bandrol harga 65 ribu. Untuk bapak saya kasih 60 ribu deh,” ujarnya antusias sambil bergerak lincah mengeluarkan barang yang di dalam.
“Ya udah, saya ambil yang ini, pink bunga-bunga. Tunggu ya…”
Aku menyingkir keluar lapak abang penjual daster, mengeluarkan amplop di saku celana. Uang yang sekiranya akan kugunakan untuk membayar kontrakan rumah bulan ini. Dengan tangan gemetar menarik lembaran biru dua lembar, lalu kembali masuk ke dalam. Setelah menerima kembalian, aku beralih ke lapak penjual buah, membeli sekilo jeruk dan salak pondoh, buah kesukaan anak-anak.
Matahari sudah tepat di atas kepala, aku memutuskan pulang sebentar untuk makan siang.
“Assalammu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” sahut Ratmi menyalami tanganku.
“Ini Buk’e, buah untuk anak-anak. Terus, ini ada baju untukmu,” ujarku menyerahkan bingkisan ke tangannya.
Dengan cekatan dia membuka bungkus yang kukatakan untuknya. Matanya membelalak tak percaya saat mengeluarkan isinya.
“Apa ini Pak? Ya Allah.. Alhamdulillah.. Terimakasih Pak. La ngopo to Pak repot-repot beli ini. Punyaku kan masih bisa dipakai. Huu..huu…” dia malah menangis terisak-isak.
“Lhoo.. kok malah nangis. Tak kira bakalan seneng.”
“Aku nangis kadung senengnya. Tapi apa gak papa Pak? Kebutuhan kita masih banyak, uangnya kan bisa untuk itu. Kenapa malah belikan aku baju? Lagian ini pasti harganya mahal,” rentetnya sambil mengelap ingus.
“Gak apa-apa. Insyaa Allah ada rezeki lain dari pintu lain,” ujarku tersenyum.
Mulutnya masih mengucapkan hamdallah berkali-kali saat melangkah ke dapur mempersiapkan makan siang. Meskipun aku bingung memikirkan biaya kontrakan yang kurang, namun dalam hati ada sebuah kebahagiaan yang tak terungkapkan. Makan siang kali ini begitu nikmat.
Setelah shalat Dhuhur dan bersiap kembali mengojek, handphone milik bersama berbunyi. Ratmi yang mengangkat.
“Pak’e, telepon dari Bu Tati untuk sampeyan,” ujarnya seraya menyerahkan HP yang dilakban karena retak casing.
Aku menyambutnya segera.
“Iya..iya Bu. Baik, insyaa Allah besok pagi.. Alhamdulillah.. allahu akbar..”
Selepas istri manajer di sebuah perusahaan itu menutup teleponnya, aku terduduk lunglai di kursi plastik di teras, seolah tak percaya dengan kabar yang baru saja diterima.
“Ada apa Pak’e?” tanya Ratmi khawatir.
“Alhamdulillah… Allah mendengar do’a kita Buk’e. Bapak diterima langsung bekerja di perusahaan suaminya Bu Tati. Bagian kebersihan di sana kemarin pindah mendadak, jadi Bapak disuruh kerja menggantikan. Besok pagi disuruh datang untuk pembicaraan lebih lanjut,” terangku.
“Alhamdulillah Yaa Allah,” ujarnya mengangkat kedua tangan ke atas lalu mengusapkannya ke seluruh wajahnya.
Kupandangi dirinya yang sudah mengenakan daster pink bunga-bunga yang tadi kuberikan, dia begitu sederhana, namun selalu cantik di mataku. Tak sadar,mataku berair, begitupun dirinya.
-Sandra Ayu-
KAMU SEDANG MEMBACA
(MENIKAH)
Romancekeberhasialan dlm menikah bukan di ukur oleh bnyknya anak atau bnyknya harta.. tapi keberhasilan menikah di ukur .. lebih dekatny kita dengan allah... lebih baiknya diri dlm membangun rumah tangga.. lebih2 dan semakin lebih bertaqwa..