Chapter 4

8 1 0
                                    

Jangan lupa LIKE dan COMMENT
Thank you :)
--|^-^|--

Disini, sangat gelap. Gelap sekali, aku takut. Tak ada yang bisa ku lihat. Napasku sesak, jantungku berdetak keras. Bagaimana jika aku tak dapat keluar dari sini selamanya? “Tolong,” suaraku tak dapat mengencang, sesak napas membuatku tak dapat berteriak kencang. Aku tak tau lagi, bagaimana caranya agar dapat keluar kembali. Aku takut.

“Ayo, Nak. Sama Bunda,” seseorang berparas cantik dan putih itu menyapaku, aku tak tau siapa. “Kamu gak mau meluk Ayah?” seorang lelaki paruh baya datang, terlihat anggun dengan jas berlambang TNI AL menawariku untuk memeluknya.

Aku hanya bisa berjalan mundur dengan pelan menjauhi dua sosok mengerikan yang aku sendiri pun tidak tau siapa sebenarnya mereka. Ketakutanku menjerat, membuatku benar-benar ingin pergi dari sini. Bersama dengan dua orang aneh yang dari tadi mendekatiku sampai aku terpojok. Wajahnya lama kelamaan menjadi hitam, penuh darah serta kulit yang mengelupas.

“Monster!!? Ini hanya halusinasi saja, kan?” batinku waspada, “Tapi ini terlihat nyata!”

Aku hanya dapat menutup mata pasrah. Menutup wajahku dengan tangan membuatku merasa tenang. Tapi tidak dengan sentuhan yang membuatku menggeliat ketakutan. Entah mengapa ada sebuah tangan yang memegangi pundakku, aku bersikeras untuk menyingkirkannya, tapi tak ada perubahan.

“Kak, ayo pergi. Disini seram,” aku membuka mataku, melihat seorang anak kecil yang mengaku adikku. Ia manis, parasnya indah, dengan rambut dikucir dua. Ketakutan menggujur adik kecil itu, tanganya gemetaran disaat ku memegangnya. Aku memluk erat adikku ini, sambil isak tangis keluar dari mataku. Entah mengapa semua ini benar-benar nyata.

JLEBB

“Aghh,” sebuah pisau menusuk punggungku dengan rasa perih tak tertahan, “Kak, Vina tau kakak itu sebenernya baik, tapi kakak hanya baik pada orang lain, bahkan Vina tak diperdulikan sama sekali sama kakak,” ia menghilang, meninggalkan tangisan yang membuatku tak dapat menahan diri. Suaranya terngiang-ngiang dalam kepalaku, memaksakanku untuk pergi dan tak kembali.

~> • <~

8 Hari Setelah Kejadian.

”Kenapa kau berada disini? Kau mau mengganggu ku, hah?” teriak salah seorang siswa anak gangster yang tentu saja ia adalah Devan, yang saat ini ia dengan santainya berteriak tanpa memperdulikan anak lainnya yang merasa terganggu bahkan aku ingin sekali memukul wajahnya yang sangat menyebalkan itu, dan semua itu mengingatkanku pada kejadian delapan hari yang lalu.

“Kau bodoh! Apa kau tidak bosan-bosannya dimarahi seperti ini? Kau melakukan hal yang dapat membahayakan nyawa orang. Bahkan kau saat ini tak ada rasa bersalah di depan Ibu. Kau itu memang kelainan apa bagaimana, Devan?!” aku hanya menunduk sambil mendengarkan bu Riska -Wali kelasku- memarahi Devan.

“Maaf, Bu,” kalimat singkat yang terucap dari mulutnya yang terlihat sekali ia tak sedang serius pada kata-kata yang baru ia ucap sebelumnya. Seakan perminta maafan itu ditujukan pada bu Riska dari pada olehku.

“Sebenarnya Ibu sangat kecewa padamu. Ibu jadi wali kelasmu itu seakan Ibu sudah tidak dapat bisa mendidik murid sendiri,” kata-katanya melemah, terlihat seperti penyesalan yang amat dalam memenuhi rongga tubuhnya, “Apa perlu Ibu serahkan kalian pada kepala sekolah agar kalian mendapatkan wali kelas baru yang cocok untukmu dan juga teman-temanmu?” lanjut bu Riska lirih sembari menundukkan kepalanya menahan malu atas semua perbuatan Devan.

Arah PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang