Chapter 2

19 2 0
                                    

Jangan lupa LIKE dan COMMENT
Thank you :)
--|^-^|--

Aku, Elfina. Pernah diceritakan oleh kakakku yang bernama Evan. Pada saat aku masih duduk dibangku kelas 2 SD, aku diceritakan oleh kak Evan mengenai bagaimana kisah masa kecilku yang kelam dan menyedihkan.

Saat itu aku masih berumur 3 tahun. Masih polos dan tak mengerti apa-apa. Tetapi, saat itu aku meminta pada orang tuaku untuk jalan-jalan. Mungkin karena aku bosan selalu berada di rumah seharian di saat Sabtu dan Minggu, lalu Senin sampai Jumat harus pergi ke sekolah, mungkin itu yang ku ketahui, hanya mungkin, karena aku tak dapat mengingat kejadian saat duduk dibangku kelas 2 SD.

"Kamu kan masih sekolah, nanti saja ya saat sudah liburan," ucap ayahku, membuatku sedikit lesu dan pasrah.

"Janji lho, Yah."

~> • <~

Satu bulan telah berlalu, satu bulan menunggu hari yang kutunggu. Gila saja, menunggu liburan itu terasa tersiksa seperti satu tahun lamanya, dan terasa senang di saat hari-H itu telah mendatang. Dengan senang hatinya pulang sekolah dijemput oleh ayah. Tak lupa aku mengingatkan ayahku untuk pergi jalan-jalan.

"Yah, jangan lupa jalan-jalan, ini hari Fina terakhir ke sekolah," ucapku riang gembira diterpa angin silir merona.

"Besuk ya, sekalian siap-siap," ucap ayah tersenyum kecil.

"Bunda diajak kan, Yah?" tanyaku spontan.

"Iya lah, masa ngga diajak," jawab ayahku tertawa kecil.

Esok hari telah tiba, di mana aku dan keluargaku akan pergi jalan-jalan. Tapi sayang sekali, kak Evan tidak dapat ikut, ia ada acara disekolahnya, dan itu wajib diikutinya. Hari ini, hari Selasa. Kami rencananya akan pergi ke Jakarta, pergi ke ibu kota tercinta, yang pasti, penduduk di Jakarta sangat lah padat dan macet, kami akan lebih terhambat beberapa menit untuk sampai di tujuan.

Semua persiapan sudah siap, kami akan langsung menuju ke Jakarta. Kami memilih untuk berangkat pada sore hari agar dapat sampai di Jakarta pada saat pagi hari, sekalian melihat matahari terbit. Suasana saat malam benar-benar gila, langit yang indah beserta bulan dan bintang. Banyak motor dan mobil yang ingin bermudik-ria, dan mungkin banyak juga yang akan menghabiskan waktu liburannya dengan pergi ke mal. Cukup disayangkan.

Ku coba untuk menengok alam sekitar dengan kaca mobil, walau indah tetapi, aku tak setuju. Banyak dari mereka menggunakan kendaraan yang mengeluarkan asap, jika begini terus tak segan-segan asap kendaraan mencemari udara. Walau begitu, aku tak begitu peduli, toh saat dinasihati mereka malah membuatku naik daun. Kasar memang, tapi lain kali, aku akan membuat warga Indonesia sadar dengan perbuatan mereka sendiri.

"Bun, apa masih jauh?" tanyaku dari pada hening menggelora.

"Ini belum ada setengah perjalanan, Fina," jawab Bunda sambil geleng-geleng kepala.

"Hehehe."

Inilah bagaimana aku membuat rasa bosanku pergi seketika. Dengan menanyakan pada bunda tentang hal-hal yang tidak penting, menghabiskan waktu itu menyenangkan, karena memang aku tak punya cukup kegiatan di tempat yang sempit ini.

Udara segar menyelimutiku, sambil setengah sadar memperhatikan situasi yang membuatku terheran-heran. Mataku terbelalak kaget, melihat pemandangan yang sangat indah, benar-benar indah. Dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, disertai dengan rumput pagi yang tengah bergoyang.

"Serasa di surga," gumamku.

"Andaikan akan tetap seperti ini, akankah esok aku tetap dapat melihat matahari yang tengah bersinar indah itu?" gumamku khawatir.

Tanganku mengepal keras, ketakutanku menyelimutiku, membuatku berpikir dua kali untuk mengingat argumen itu. Tangan Bunda menyentuh tanganku yang telah mengepal keras serta senyuman manisnya terukir dari wajahnya.

"Kamu kenapa, Fina?" tanya Bunda setengah khawatir.

"Nggak apa-apa, Bun. Fina cuman teringat sesuatu," jawabku pelan.

"Jangan buat dirimu bersedih hanya karena kekhawatiranmu itu, oke," saran Bunda tersenyum padaku.

"Oke, Bun."

~> • <~

Akhirnya kami sampai di lokasi, tepatnya di Ancol. Di sana sangatlah menyenangkan, maka dari itu orang tuaku setuju untuk pergi ke sana. Kami menghabiskan waktu bermain bersama, sampai tak menyangka jam sudah melewati batasnya. Sekarang jam setengah empat, dan kami harus segera mengakhiri wahana yang sangat menyenangkan tadi.

Aku melihat Ayah Bundaku tertawa bahagia. Aku sangatlah senang berpergian seperti ini, seperti melihat seorang yang sangat kusayangi tertawa bebas tanpa tekanan. Hari ini lebih dari sekadar menyenangkan. Kapan-kapan kak Evan juga harus ikut.

"Bun, lapar," aku meringih lapar sambil memegangi perut yang sudah kosong ini.

"Habis ini kita makan, kok."

"Yeeee."

Perjalanku sangat indah hari ini. Perjalanan untuk makan malam terasa sangat lama, sampai perutku saja tidak tahan karena laparnya.

Setelah perjalanan yang sangat lama, akhirnya sampai di restoran terdekat. Kami makan di sana sepuasnya, sampai perut kenyang seluruhnya. Sayang sekali kakak tidak ikut padahal perjalanan ini berasa sangat menyenangkan.

Tak lama seterusnya kami menuju ke mobil di mana kami akan pulang ke rumah dengan selamat. Perjalanan malam ini sangat asik, tapi dibalik malam seakan hawa menusuk yang membuatku tak dapat tenang. Seakan dibalik kesenangan ini terdapat kekhawatiran yang menyayat hati demi hati.

BRUAKK

Kami semua kecelakaan, kami jatuh ke jurang dalam gelap derap malam bersinar bulan, aku tak tau, semua begitu tiba-tiba sebelum aku tak dapat menahan pedih di kepalaku, aku pingsan sebelum mengetahui bagaimana keadaan orang tuaku.

Entah bagaimana kata kakak, aku dibawa oleh seseorang yang katanya melihat kejadian itu dengan nyata, dan kakak juga mengaku bahwa orang itu yang menceritakan semua kejadian ini. Lalu kakak bicara bahwa setelah aku masuk rumah sakit aku tak dapat mengingat apa-pun, maka dari itu kakak menceritakanku.

Arah PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang