Prolog

101 21 5
                                    

Untuk Kita

Terhitung sejak satu tahun yang lalu perpisahan kita. Sebuah ruang kosong yang masih kutatap setiap harinya, hampa yang kurasa dan 'tak ada lagi yang tersisa. Serangkaian kata yang sering kutulis indah, 'tak mampu juga untuk mewakilkan rasa rindu yang semakin membuat sesak di dada.

Kisah ini belum kusebut usai walau dengan adanya perpisahan sudah berarti selesai. Karena bagiku, masih ada tanya yang belum dapat kamu jawab dengan sempurna.

Terlepas dari itu semua, 'kamu apa kabar? Akan selalu baik, 'kan? Tentu saja. Karena 'tak ada bagian perpisahan yang perlu kamu tangisi dari kisah ini.

Jika aku tahu, bahwa malam itu akan menjadi malam perpisahan kita, sungguh akan kujadikan malam itu menjadi malam yang abadi, tetapi yang perlu kamu ketahui ketika kisah ini 'tak dapat abadi, namun kenangannya akan selalu abadi dalam hatiku ataupun didalam tulisanku yang perlahan menjadi lusuh.

Perihal kabarku, walau 'tak pernah kamu tanyakan lagi. Kabarku baik, dan akan selalu baik. Perpisahan 'tak pernah menjadikanku lemah, bagiku cukup tulisan ini saja yang nantinya akan menjadi lusuh, tidak dengan ragaku. Hari-hari yang kujalani tanpa kamu, mungkin memang tidak akan sesempurna sebagaimana hari-hariku yang diisi dengan cerita bersamamu. Tetapi, cukup kujadikan itu sebagai penguat ku, karena menatap masa depan itu jauh lebih indah dibandingkan tetap menoleh kebelakang hanya untuk melihat masa lalu yang kelam.

Aku 'tak ingin menyebut kisah ini sebagai kisah yang menyakitkan, karena jika kisah ini menyakitkan kenapa bisa membuatku tersenyum seharian?

Aku juga 'tak ingin tulisan ini akan menjadikan tanya untukmu. "Sya, ini cerita apa?" Aku 'tak ingin mendengar tanya itu dan 'tak akan ingin pernah. Karena cerita ini bukan teka-teki yang harus kamu jawab, bukan pula sebuah pernyataan yang akan menghasilkan pertanyaan.

Suatu saat jika kamu membaca tulisan ini, aku penasaran bagaimana kabarku saat itu. Tersenyum malu karena tahu bahwa kamu membaca ini, atau menangis haru karena setidaknya kisah ini bisa abadi dalam buku.

Bagaimana, kamu masih ingat 'kan betapa bodohnya aku saat itu, betapa bodohnya aku memaksa diri agar 'tak pergi, betapa bodohnya aku menjatuhkan perasaan kepada seseorang sepertimu. Namun, memang begitulah manusia, senang sekali melakukan kesalahan. Tapi kabar baiknya, aku mengikhlaskan perpisahan denganmu.

'Menyerah!'

Kalimat itu 'kan yang selalu kamu ucap kepadaku? Yang perlu kamu tahu, bahkan sebelum kamu meminta aku untuk menyerah, aku sudah merencanakan hal itu sejak dulu, namun tetap saja 'tak dapat terlaksana.

Jangan kembali walaupun aku memintamu kembali, jangan mencintaiku lagi walaupun aku berharap seperti itu, jangan pernah menghubungiku lagi walaupun aku tahu, bahwa kabarmu yang selalu kunanti.
Aku 'tak berharap tulisan ini akan kamu baca atau orang lain membacanya, karena aku tidak ingin mereka tahu tentang kebodohanku ini.

Meisya Inshani

Untuk KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang