Mentari

24 2 0
                                    

"Senyumnya bagai matahari di pagi ataupun sore hari, hangat dan cantik."

***

   Hari ini.

   Matahari telah terbit sejak beberapa menit yang lalu. Sinarnya yang hangat mampu menembus kaca jendela kamar minimalis milik seorang gadis yang kini tengah menduduki bangku sekolah menengah atas kelas akhir, yakni kelas XII. Seragam putih abu-abunya telah terpakai rapi di tubuhnya. Ia sedikit merapikan hijabnya di cermin sebelum akhirnya meraih ransel kesayangannya kemudian berjalan keluar kamar.

   Jam dinding di ruang tamu masih menunjukkan pukul 06.10 pagi. Masih terlalu pagi untuknya pergi ke sekolah, karena hari ini adalah hari masa orientasi siswa yang akan di selenggarakan pada pukul delapan mendatang. Namun bagaimanapun dia adalah panitia acara, jadi harus datang lebih awal dari waktu acara dimulai.

   Ia menghentikan langkahnya ketika telah sampai di ruang makan yang langsung terhubung dengan dapur bernuansa klasik. Hanya dapur yang sederhana dengan peralatan dapur seadanya pula. Tak ada yang berarti di rumah gadis ini. Hanya sebuah rumah sederhana yang terletak di pinggir jalan raya. Di dalamnya terdapat 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur yang digabung menjadi satu. Benar-benar sederhana.

   "Kamu sudah siap?" Tanya ibu gadis tersebut setelah menyelesaikan persiapan bekal milik gadis itu.

   "Sudah, ma." Jawab gadis itu.

   "Kamu mau sarapan di mana?" Tanya ibunya kembali.

   Ia terlihat berpikir sejenak. "Di sekolah aja, ma."

   Ibunya terlihat mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti kemudian memasukan roti berisi selai kacang ke dalam kotak bekal.

   "Ini, segera masukan ke dalam tas, ya. Susu cokelat nya juga jangan lupa diminum." Pesan ibunya seraya memberikan satu kotak bekal dan sebotol susu cokelat.

   Gadis itu mengangguk patuh. Kini kotak bekal dan sebotol susu cokelat itu telah tertata rapi di dalam tas ransel miliknya.

   "Aku berangkat dulu ya, ma. Assalamu'alaikum." Ucap gadis itu disusul dengan mencium punggung tangan ibunya.

   "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya, sayang!" Pesan sang ibu.

   Gadis itu mengangguk mengerti, tak lupa dengan senyumannya yang khas. Sedetik kemudian dirinya telah melesat menuju sekolah nya dengan langkah pasti. Ia berlarian menyusuri pinggiran jalan raya yang melewati ruko-ruko, masjid, rumah-rumah, kantor polisi, sebelum akhirnya sampai di halte bus. Nafasnya tak beraturan ketika langkahnya terhenti. Ia selalu seperti ini di setiap paginya. Baginya, ini hanyalah pemanasan pagi.

   Ia terduduk di bangku halte sambil menunggu kedatangan mobil angkutan umum yang akan membawanya menuju sekolah. Seperti inilah keseharian gadis berparas cantik satu ini. Setiap hari hanya bergantung pada angkutan umum untuk berangkat ke sekolah. Tidak hanya berangkat, pulangnya pun begitu. Namun ia masih dapat bersekolah di sekolah ternama di ibukota. Baginya, itu saja sudah lebih dari cukup.

   Tak lama, angkutan umum berwarna merah-hijau datang menghampiri gadis itu, menawarinya untuk masuk ke dalamnya. Gadis itu setuju dan segera masuk ke dalamnya yang hanya berisikan seorang ibu-ibu sehabis dari pasar. Sang supir mulai menjalankan mobilnya kembali dengan kecepatan sedang. Gadis itu menolehkan kepalanya menghadap jendela yang sedikit terbuka, menikmati hembusan angin sejuk yang menerpa wajahnya.

   Mobil terus melaju menembus jalanan ibukota yang masih terlihat sepi. Hanya terlihat beberapa pengendara sepeda motor dan angkutan umum. Meskipun begitu, gadis itu tetap saja menikmati pemandangan dari balik kaca jendela.

   Sekitar 5 menit kemudian, gadis itu telah sampai di depan gerbang sekolahnya. Ia segera turun dari angkutan umum sekaligus membayarnya. Angkutan umum tersebut melaju kembali setelah mendapat bayaran, mencari calon penumpang yang akan menaiki mobilnya kembali.

   Setelah melihat mobil itu agak jauh, gadis itu membalikan badannya menghadap sekolah yang terlihat begitu luas dan sepi. Hanya ada beberapa murid yang melintas di halaman sekolah. Sekolah itu memiliki 3 gedung yang membentuk seperti huruf 'U', dan disetiap gedung nya memiliki 3 lantai yang terdiri dari kelas, ruang praktek, laboratorium, ruang klub, gedung olahraga, dan lainnya.

   Gadis itu terhenti di depan sebuah kelas setelah melewati dua lantai dengan menggunakan tangga disusul dengan koridor yang lumayan panjang karena kelas nya berada tepat di ujung koridor. Ia memutar knop pintu kemudian mendorong pintu itu ke dalam. Ia melangkahkan kaki untuk memasuki kelasnya yang telihat sepi. Sepertinya hanya dirinyalah yang pertama sampai ke dalam kelas. Ia menduduki bangku yang biasanya ia tempati, yaitu paling depan dan paling ujung dekat dengan jendela. Pemandangan di balik kaca jendelahnya adalah lapangan basket dengan ukuran 26x14 m.

   Arloji di tangan kanannya masih menunjukkan pukul 06.30 pagi. Ia teringat akan bekalnya setelah mendengar perutnya mengeluarkan jeritan. Ia segera mengeluarkan bekalnya dari dalam tas beserta botol minumnya kemudian menyantapnya dengan khidmat. Di tengah santapannya, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu kelas yang membuat gadis itu menoleh ke asal suara. Mereka bertatapan.

To be continued...

Mentari & Purnama [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang