[23] Sadar

3.6K 370 118
                                    

Tidak ada suara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak ada suara.

Salah satu ciri khas tempat ini. Penghuninya menjatuhkan diri ke alam mimpi, berharap kabar baik akan datang saat mereka terbangun. Laki-laki yang masih terjaga pun turut terkantuk-kantuk. Susah payah ia menyangga dagu.

Rahman mengusap wajahnya lalu berjalan ke kamar mandi. Beruntunglah kamar VIP ini memfasilitasinya. Ia lekas membasuh wajah dan berkumur, menyegarkan mulut. Lewat cermin, ia menatap raut yang tampak berantakan berkat begadang semalam suntuk.

Lelaki hampir setengah abad itu pun beranjak mengambil sebuah selimut yang ia bawa dari rumah. Benda tersebut masih teronggok di sofa, tanpa dilipat oleh pemakai sebelumnya--Melody. Gadis itu telah hilang tanpa pamit.

Tangan Rahman terangkat, menutup separuh badan Rumi menggunakan selimut hello kitty milik putrinya. Dingin AC menuntunnya untuk melakukan hal tersebut. Wanita itu tertidur dengan posisi duduk, menggenggam tangan sang putra yang belum bebas dari infus. Tak seinci pun mereka terpisah.

"Berdasarkan CT Scan dan MRI, Al mengalami pendarahan otak."

Kepala Al diusap lembut saat penjelasan dokter terngiang. Anak itu terpejam dengan damai. Dadanya naik dan turun dengan teratur. Rona pucat yang melekat itu perlahan memudar. Kata dr. Fahri, mereka hanya perlu menunggu Al membuka mata. Semua masalah waktu.

Rahman menggeleng. Bayangan saat Al tiba-tiba mengejang di mobil membuatnya bergidik. Suara panik dan isakan yang mengiringi pun kembali muncul. Tidak ada yang tenang saat itu. Malam yang dipersiapkan dengan matang menjadi malapetaka dalam sekejap.

"Apakah sebelumnya Al mengalami kecelakaan?"

Fakta yang terlambat mereka ketahui itu memukul semua orang, terutama Melody. Hanya gadis itu yang mengaku sebagai saksi. Ia lantas bercerita, bagaimana Al tersungkur menghantam kursi trotoar tanpa mengeluarkan darah setetes pun. Semua terlontar dari mulutnya yang bergetar.

Netra pekat Rahman menatap teduhnya lelap Al. Perlahan, ia mendekatkan diri. Meski ragu, ia bubuhkan kecupan penuh sayang di kening anak itu.

Ia pun tersenyum seraya merapikan rambut Al. "Cepet bangun, ya, Jagoan."

Melody mengentak-entakkan kaki. Tangannya masih terlipat di depan dada dengan kesal. Bibir bawahnya pun tergigit tanpa sadar.

Berulang kali ia menengok jam tangan resah. Pandangannya mengedar pada lalu lalang mahasiswa berjubah putih. Tajam, ia menatap sinis setiap mata yang memandangnya aneh.

Tentu bukan hal lazim melihat almamater fakultas lain mejeng di tempat parkir. Tampang yang tak santai turut menyita perhatian. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyadari antek-antek yang dibawa oleh Melody.

"Sial, lama banget sih, Mel!" seru Idon dari kejauhan.

"Tai! Sabarlah."

Entah berapa kali mereka saling umpat. Harusnya urusan mereka telah usai setengah jam yang lalu. Namun, batang hidung orang yang ia cari tak segera menampakkan diri.

Imposition ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang