Senjakala Di Kampungku

10 0 0
                                    

Matahari menjadi hangat—terlihat dari betapa glowing-nya bocah-bocah yang bermain dikepulan debu rel kereta itu. Ada yang bermain lompat tali dari karet, bermain petak umpet, bermain menjadi beberapa pemain top sepakbola dunia dan daerah, sementara para pegawai stasiun tampak bahagia diujung kerja shift-nya.

Sebagian pemuda memilih menyeduh kopi dan tenggelam dalam percakapan-percakapan yang aku yakin kalau terdengar oleh yang bersangkutan, dapat sebabkan perkara saja. Sebagian pemuda lainnya membaur dalam gapleh dan asap kretek bapak-bapak gapleh gardu. Mereka larut dalam perbincangan tentang dunia, uang, perselingkuhan yang berujung pada caci-maki kekalahan berapa uang atau  yang dibalut komedi klasik, rasis.

Sedang ibu-ibu dirumah sibuk dengan kewajibannya yang dalam adat tersirat di bab-bab pernikahan—seorang istri. Mereka menanak nasi, membikin lauk pauk, atau menyeduh teh manis atau pahit untuk para anggota keluarga. Dengan daster lucu itu, mereka sadar berapa kadar nasi dan lauk yang dapat memenuhi taraf kenyang perut keluarganya.

Terpujilah engkau, Ambu dengan segala RAB yang kau pahami.

Lalu para pemuka agama dan umat-Nya melantunkan keindahan dan kesejukan adzan—tentang kedamaian tanpa paksaan dan persekusi, betapa agung-Nya Sang Maha Segalanya dalam senyum-senyum kedamaian ajaran-Nya.

Sekumpul manusia tadi beberapanya melarikan diri dari kenikmatan yang membuai itu ke arah ketenangan diri dan rohani. Bocah langsung pulang dan mandi lalu menunggu bapaknya pulang membawa hasil judi. Ibu-ibu mencari-cari pemuda yang tadi ngopi, malah dari pagi, ngopi melulu, seakan hidupnya berlandas Amor Ngopi.
Tetiba semesta kampungku senyap. Hening. Damai. Hanya ada bebunyi tongeret dan gaang dari kebun sekeliling kampung yang memberitahu bahwa matahari telah tenggelam, rotasi masih berputar. Inilah saat-saat dimana realita sesungguhnya terjadi.

Lihatlah sepulang pemuka agama itu dari peribadatan, langsung melebur dalam nasi hangat dan lauk pauk sanak famili, bapak-bapak kembali ke kartu gapleh dan remi; mereka tak lakukan adu ayam karena menghargai Hak Asasi Ayam—meskipun tetap saja disembelih untuk makan, bocah-bocah yang tekun langsung memeluk buku pelajaran dan alat tulis; sementara yang bengal malah berlarian diberanda tempat ibadah menunggu teriak bapak penjaga masjid. Rupanya ada sebagian pemuda yang tadi ikut beribadah dan sepulangnya mereka kembali ke pekat dan harumnya aroma kopi jika dipadukan dengan tembakau campur cengkeh ber-filter dan berbau korporat. Amor, Ngopi, Amor !

Lantas mungkin Tuhan atau Sang Maha itu tersenyum. Betapa harmoninya umat-Nya dalam Tuhan-Tuhan dipersepsi mereka sendiri. Lalu marilah kita berseru,

"Hei, Nietzsche ! Tuhan masih hidup ! Malah, berkembang biak !"

—anjingtanah

Sepatah-duapatah Tentang ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang