Bab 7 | Demam

38 8 0
                                    

Aku berlari sekuat tenaga dengan terengah-engah. Setelah melalui tali pembatas, aku merasakan cahaya hangat mengenai kulitku yang dingin. Tak lama, aku sampai di apartemen, aku langsung merebahkan diri di kasur tanpa pikir panjang. Aku bergelut di dalam selimut, berusaha untuk menelan rasa takut yang kurasakan. Aku sedikit membuka selimut, melihat langit langit kamar. Sedetik kemudian, rasa sesak menghampiriku, setetes air mata menjatuhi pipiku. Rasanya ingin sekali tuk berteriak dan menangis sekencang mungkin.

Setelah menatap langit langit cukup lama, aku mengatur nafasku lalu bangkit duduk. Mencoba untuk berpikir dingin tentang kejadian di taman. Satu hal yang kusadari pada pria itu adalah, dia bukan manusia. Jari-jarinya baku seperti mayat, aku bisa membayangkan warna putih pada tangannya. Telapaknya penuh bekas luka yang dapat kurasakan.

Aku kembali bergidik sembari berpikir apa yang sudah ia lakukan padaku? Dan dia membisikkan kata 'buku' disana. Aku yakin, buku yang ia maksud adalah buku yang terlihat mencurigakan di perpustakaan sekolah. Helai rambut berwarna ungu gelap melayang mengikuti arah angin.

Aku bangkit berdiri, lalu mengganti pakaianku. Setelahnya aku kembali duduk di kasur, menatap ke depan dengan sorot hampa. Ini bukan keisengan seseorang kan? Jika benar begitu, ini keterlaluan, aku sangat takut. Aku membaringkan diri ke kasur, lalu melihat kearah langit langit dengan tatapan kosong. Mataku mengerjap, lalu aku menutup mata.

***

Aku merasakan sesuatu padat yang basah dan dingin menyentuh kepalaku. Aku berkedip beberapa kali lalu terbangun. Aku menyentuh dahiku, sebuah kain dengan air yang dingin diletakkan di dahiku. Aku duduk sembari mengambil kain itu, lalu melihat sekitar.

"Kau sudah bangun?" tanya suara familiar.

"Kak Mia?" tanyaku melihat kak Mia dari dinding kaca bercorak kamarku. Aku menatap jam dinding. Ini sudah sore menuju malam.

"Kakak pulang cepat," gumamku. Kak Mia berjalan memasukki kamarku.

"Kau demam," ucapnya membawa segelas air dan obat lalu memberikannya padaku. Aku mengambil obat itu dan menelannya bersama dengan meminum air.

"Apa kau punya masalah?" tanya kak Mia. Aku menatapnya datar, "Apa aku terlihat seperti punya masalah?" tanyaku.

"Aku tidak pernah ikut campur urusan siapapun," ucapku.

"Oh iya? Apa ada yang membuatmu stress atau khawatir?" tanyanya lagi. Aku mengerutkan dahi.

"Tidak, Kenapa bertanya?" tanyaku.

"Kau tadi kelihatan gelisah sekali saat tidur, sampai sampai pendingin ruangan pun tak mempan untuk keringatmu," jawab kak Mia.

"Oh ya? Tapi aku tidak punya kekhawatiran," ucapku.

"Kau mimpi buruk?" tanya kak Mia lagi.

"Oh, tadi aku mimpi," ucapku.

"Apa itu?"

"Mimpinya warna hitam. Gelap dan diam," jawabku. Kak Mia mendengus kesal.

"Tidak ada gunanya bicara denganmu," dengusnya kesal. Aku mengangkat bahu.

"Kau mau makan apa? Sudah lama aku gak masak, jadi aku mau masak," ujarnya bangkit berdiri.

"Aku akan makan apa yang kakak bisa masak asal itu enak. Bahkan jika hanya nasi dan telur sekalipun." Jawabku santai.

"Ya sudah, aku akan masak bubur instan aja ditambah telur dadar untukmu yang sedang sakit," ucapnya mendengus kesal lalu pergi.

"Bubur instan akan lebih enak kebanding bubur buatanmu langsung," kataku kemudian.

"Apa kau bilang?!! Aku bisa mendengarmu dari sini!! Lebih baik kau tidur deh! Aku akan membangunkanmu setelah selesai membuat ini!!" balasnya berteriak dari dapur. Aku berdecik kesal, lalu terbaring tanpa ada niat untuk tidur seperti saran kak Mia --entah itu saran atau perintah karena ia jengkel--. Aku kembali teringat kejadian di taman, sepertinya ini yang menjadi kegelisahanku.

"Suara itu.. tidak asing. Rasanya aku selalu mendengar suara itu," gumamku menatap langit langit.

"Tapi suara siapa? Kenapa aku baru ingat kalau suara ini pernah terdengar olehku?" tanyaku dengan suara perlahan mengecil. Tanpa sadar, aku menutup mataku lagi.

***

"Lea!! Lea!!"

Suara itu lagi. Sekelilingku gelap, dan seseorang meneriaki suara seakan dari jarak yang lumayan jauh. Siapa kau? Meski aku bertanya begitu, suaraku tidak keluar, aku hanya bisa melihat kegelapan dengan suara.

"Buku.."

Kali ini suara berat pria di taman itu berbisik.

"Bantu aku!!" suara wanita yang sama berteriak dari jauh.

"Bantu aku!!"

Tiba tiba, muncul cahaya terang. Cahaya itu makin memudar, dan mengeluarkan latar belakang perpustakaan. Seorang wanita yang wajahnya tampak silau menatap senyum kearahku. Ia  tampak sedang membaca buku dengan posisi berdiri di depan salah satu rak buku. Buku yang ia baca tebal, lembar bukunya tampak tua. Tampak sampulnya berwarna coklat dengan hiasan berlian dan tanpa judul.

Aku bisa menebak, itu adalah buku yang kulihat mencurigakan di perpustakaan.

"Lea.." suara wanita itu terdengar lembut, asing tapi juga familiar. Suaranya berbeda dengan suara wanita yang kudengar di mimpi waktu itu maupun yang berada di taman.

"Lea."

Penglihatanku semakin buram, rasanya kelopak mataku mau tertutup, suaranya bertambah kencang, tampak jauh tapi kasar.

"LEA!!"

Aku membuka mataku terkejut. Di hadapanku, kak Mia berdecik dengan raut wajahnya yang tampak kesal. Aku mengucek mataku sembari bangkit duduk.

"Ayo makan," ucapnya bangkit berdiri. Aku menatapnya sebentar, lalu bangkit berdiri. Tubuhku rasanya hangat, mataku panas, dan hidungku gatal. Sepertinya aku benar benar demam. Aku duduk di sofa setelah mengambil semangkuk bubur hangat yang diatasnya diberi irisan telur dadar.

Aku memakan bubur itu lahap, untungnya, rasa buburnya tidak menjadi hambar. Aku berpikir sembari membiarkan mangkuk bubur di meja. Ada suara wanita yang lainnya, apa ini cuman mimpi belaka yang seharusnya tidak aku hiraukan? Atau pertanda?

"Hey, kau kenapa lagi?" tanya kak Mia mengambil mangkuk di meja sambil mengernyitkan dahi.

"Bukan apa apa," celaku bangkit berdiri.

Aku menghampiri kotak obat di atas laci, lalu mencari obat untuk kuminum. Setelah menemukannya, aku mengambil gelas di dapur, melalui kak Mia yang sibuk mencuci bekas masakannya. Lalu mengisi gelas itu dengan air minum. Aku membuka kemasan obat dan mengambil sebuah pil putih bundar. Aku segera memasukkannya ke mulut lalu menelannya bersama air.

Beberapa menit kemudian, pusing di kepalaku berdenyut lebih pelan dan mataku sudah tidak sepanas tadi. Aku berjalan kembali ke kamarku lalu mengambil sebuah buku mini dari dalam laci. Aku menulis tentang apa yang kualami disana, mulai dari mimpi misterius, orang misterius di taman hingga kecelakaan secera rinci. Setelahnya, aku berbaring di kasur lalu tertidur.

Buku kecil terbuka terletak di kasur di sebelahku tertidur bersama dengan satu pulpen yang tadi kugunakan untuk menulis. Seseorang, rambut merah pendek dengan wajah cantik duduk diatas gedung apartemen.

"Dia menyadari hal ini. Jangan jangan, dia adalah alasan Ela," tukasnya.

"Berarti, dialah yang kita cari," gumamnya.

-To Be Continue-

Lea Thread Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang