05

4.4K 609 3
                                    

"Win, bangunlah."

Huh? Siapa itu?

"Ibu? Jam berapa sekarang?" tanyaku tanpa membuka mata.

Tunggu, suara orang tadi tidak terdengar seperti Ibu.

"Win, jangan mengigau, seseorang menelpon."

Aku menggeliat, merasakan alas tidurku sekarang sangat dingin dan keras. Astaga, aku sedang tidur di mana memangnya?

Aku mengerjapkan mata. Mencoba untuk menyingkirkan pusing di kepalaku, aku segera duduk.

"Hei," sapa Bright sumringah.

Apa-apaan? Sejak kapan pemandangan pertamaku saat bangun tidur adalah lelaki dalam cermin ini?

"Bright?"

"Ya?" balasnya, masih dengan senyuman tak wajar. "Apa kau tidak mau mengangkat telepon yang berdering?"

Telepon yang berdering? Aku tidak mendengar apapun.

"Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanyaku, mengernyit menatap sekeliling. Aku berada di gudang sekarang, dan kepalaku terasa begitu sakit. Apalagi, mataku yang kurasa sedang membengkak—

Ibu. Satu kata ini terngiang begitu saja di dalam pikiranku.

Aku bergeming. "Ibu ...."

Terdengar suara Bright, "iya Win, Ibumu. Dan sekarang, bagaimana jika kau mengangkat telepon—Win?"

Aku menggigit bibir, menahan tangis. Menatap Bright sebentar sebelum mencari tongkatku untuk berdiri.

Aku marah dengan lelaki itu.

Aku murka.

Bisa-bisanya dia tersenyum seperti itu sedangkan kemarin dia baru saja meruntuhkan duniaku? Satu-satunya harapan yang aku punya, dan dia mengecewakanku begitu saja?

Aku tidak ingin melihat wajahnya!

"Win, kau mau kemana?" tanyanya, nyaris teriak. "Pastikan kau mengangkat telepon di luar—hei!"

Lagi, aku membuat debaman keras di pintu gudang nan reyot itu.

Dan sekarang, aku baru sadar telepon rumahku memang berdering tanpa henti.

Apa aku harus menjawab telepon itu? Mereka pasti menyuruhku datang ke rumah sakit dan menyiapkan berkas-berkas kematian Ibuku, kan?

Namun, untuk apa aku melakukannya? Toh, siapa yang tahu, mungkin aku akan bunuh diri setelah ini?

Aku meringis. Tangisku pecah lagi.

Ini semua mimpi, kan?

Kumohon, bilang padaku semua ini hanya mimpi.

Kau bisa mengambil semua milikku, tapi jangan Ibu. Jangan Ibu.

"Apa masih ada kesempatan aku memilikinya lagi, Tuhan?"

Aku menengadah ke atas, menatap langit-langit untuk sementara waktu. Berharap Tuhan melihatku.

Aku menghela nafas setelah menutup mataku, dan menggeleng lamban. Ibu akan kecewa. Dia sudah pasti tak ingin melihat anaknya seperti ini.

Aku hanya perlu berbicara sekenanya kan? Aku akan segera menutup telepon itu setelah mengangkatnya.

Dengan tertatih, aku menghampiri benda yang berdering tanpa henti itu. Setelah menghirup ingus dan mengusap mataku, aku mengambilnya.

"Halo?"

"Win! Anakku, astaga. Lama sekali kau menjawab, aku pikir kau kenapa-napa."

Suara Ibu.

Tunggu.

INI SUARA IBU?!

Air mataku berjatuhan. Suaraku tercekat karena tangisku tiba-tiba meledak. "Ibu—Ibu, aku—Ibu ...."

"Win?"

"Aku pikir—aku pikir kau—"

Aku tersendat-sendat. Aku tidak bisa meneruskan perkataanku. Dadaku sesak dan aku harus terus memeganginya.

Tuhan, sungguh, aku sangat berterima kasih jika ini bukan mimpi.

Suara kekehan terdengar dari seberang sana. "Ibu tahu, mereka juga bilang padaku bahwa salah memberi tahumu. Ibu masih hidup, nak."

Ibu masih hidup?

Entahlah, mendengar kekehan Ibu, aku jadi ikut tertawa di sela-sela tangisku. "Be—benarkah? Jadi, Ibu—Ibu di mana sekarang?"

"Ibu di rumah sakit, sedang dirawat," jawab Ibu lembut. "Nanti Ibu ceritakan bagaimana kejadiannya saat kau datang ke sini. Ibu sudah memberitahu Bibimu dan dia akan menjemputmu untuk berkunjung. Oh iya, Ibu khawatir sekali jika kau kenapa-napa setelah dapat berita tak benar itu, Win. Kau sama sekali tidak bisa ditelpon lagi semalam. Tapi, Ibu tidak bisa balik ke rumah juga karena keadaan Ibu."

Ibu menghela nafas sebelum melanjutkan, "meskipun begitu, Ibu yakin kau tidak akan melakukan apa-apa anak pintar. Syukurlah kau  tidak mendatangi Ibu ke sini juga. Jika iya, Ibu akan marah besar."

Walaupun masih menangis, aku tertawa mendengar celotehan Ibu. "Kenapa mereka bisa salah informasi seperti itu?"

"Sebenarnya Win," bisik Ibu, tiba-tiba saja dia mengecilkan suara. "Ini kecelakaan bus, sayang. Banyak sekali orang yang dirawat sekarang, dan mereka pusing mengurus orang-orang ini, termasuk Ibu. Parahnya, ada beberapa orang yang meninggal di sini, dan terjadilah kesalahpahaman denganmu semalam. Mereka kira, Ibumu ini yang meninggal."

Suara Ibu terdengar sebal, aku hanya terkekeh mendengarnya. "Terima kasih, Bu."

"Hm? Untuk apa, Win?"

"Terima kasih karena sudah menepati janjimu untuk tidak meninggalkanku sendirian."

Ada jeda sebentar sebelum aku mendengar suara tangis di seberang sana. "Ibu tidak akan pernah meninggalkanmu sayang, tidak akan."

Yang terdengar setelah itu, hanyalah suara tangis kami yang menjadi satu.

Aku sedikit malu sebenarnya. Aku jarang menangis di hadapan Ibu, begitu pula dengan perempuan paruh baya itu. Jadi, kami segera tertawa setelah beberapa saat.

Aku pun berbincang lama dengan Ibu. Bertanya kondisinya, apa dia sudah makan, dan kapan Bibi akan menjemput. Dia bilang, mungkin sebentar lagi Bibi akan datang. Dan kami mengakhiri pembicaraan di telepon.

Setelah menaruh kembali telepon genggam itu, tubuhku sempoyongan. Aku tiba-tiba merasa lemas karena terlalu bahagia.

Apakah—apakah permintaanku benar-benar dikabulkan kali ini?

Aku menengadah ke atas.

Terima kasih banyak, Tuhan!

Aku menyunggingkan senyum terindah yang pernah ada.

Dan terima kasih—

Aku melirik ke arah pintu gudang.

—Bright.

• • •

magical mirror | brightwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang