dari langkah yang bias, sejujurnya adalah takut

175 25 3
                                    


Jaehyun pernah berpikir dirinya gila. Gila karena keluar dari kota metropolitan sesungguhnya buat berakhir di kota yang disebut berusaha menjadi metropolitan. Gila karena memilih kampus yang sering disalah pahami sebagai kampus swasta dibanding memilih kampus yang sudah jelas jadi nomor satu. Gila juga karena sekarang justru berdiri di stasiun Tawang. Menunggu yang selama satu tahun sudah gak bertatap langsung. Padahal sendirinya sudah ditunggu di tempat yang berbeda.

Maka kakinya daritadi bergerak gusar. Mengetuk tegel di depan mini market yang berada tepat di belakang bangku tunggu, yang jelas bisa mengganggu jika saja stasiun adalah tempat yang sunyi. Matanya bahkan gak cukup berani melirik jam di pergelangan tangan, cuma bisa bergerak setiap orang-orang bergerombol keluar dari kereta. Berharap yang dia tunggu cepat datang, sampai sendirinya mampu mengurangi gusarnya.

Selagi sibuk merutuk pada diri sendiri, Jaehyun sampai gak sadar ponselnya sudah dimasuki puluhan notifikasi. Mungkin juga sengaja, karena sejak memutuskan datang ke stasiun, cowok itu benar-benar gak menyentuh ponselnya, selain membalas pesan dari yang saat ini sudah bertatap mata dengannya.

“Sumpah gue kira lo bercanda, Jae” cewek dengan setelan santai itu berseru waktu jaraknya hanya delapan langkah dari Jaehyun. Cukup terkejut karena Jaehyun sudah ada di area tunggu bahkan sebelum cewek itu menginjakkan kaki di Stasiun Tawang.

Seharusnya Jaehyun senang, karena kawan lamanya sekarang ada di hadapannya. Seharusnya Jaehyun tidak gusar, karena abai adalah sifatnya yang paling menonjol. Dan seharusnya Jaehyun sadar, kalau berdirinya di Stasiun Tawang yang sibuk adalah kesalahan di saat kehadirannya sudah dinanti.

“Je, apa kabar?”





“Liga?”

“Iya, liga semester, ini pertama kalinya dia ngajuin diri”

“Dia juga jadi ketua kkl, kan?”

Keenan menaikkan dua alisnya, berusaha memastikan ucapannya benar, meskipun lawan bicaranya gak menatapnya dan justru sibuk dengan satu jilid kertas di atas meja.

Aneh buat mereka, karena gak mengganti topik sejak semalam. Seperti satu topik itu adalah apa yang paling penting dibanding tujuan kedatangan Keenan. Tapi Keenan sendiri yang membuat mereka fokus pada topik yang sama sejak semalam.

Jujur Chaeyeon gak merasa berat. Cuma merasa aneh. Aneh karena dia bebas bicara tentang Jaehyun seolah mereka dekat. Aneh karena dia gak kehabisan bicara hal yang sebelumnya gak dia sadari tentang Jaehyun. Aneh juga karena dia seharusnya marah tentang Jaehyun.

“Gue mau beli cilor, sekalian gak?”

Tapi reaksi Keenan justru jadi pendukung kenapa Chaeyeon gak mengingat bahwa dia seharusnya marah.

Cewek itu mendongak. Mengalihkan rasa lelahnya dari satu jilid kertas yang masih jadi pusat emosinya saat ini. Matanya menatap lurus-lurus cowok yang sudah berdiri dari kursi, meski gak ditatap balik, karena Keenan justru fokus menghabiskan kentang goreng super berminyak ala food court.

“Banyakin bubuk cabenya, tapi harus asin juga”

Jawaban terakhir Chaeyeon jadi saat dimana Keenan melangkah buat pergi ke ujung food court. Membiarkan Chaeyeon kembali membaca satu jilid kertas di atas meja yang sampai saat ini masih dia pertanyakan.

Kenapa paper yang jadi proyeknya dengan Jaehyun terakhir kali benar-benar sudah rampung? Tanpa ada revisi lagi, bahkan sumber yang seharusnya masih dicari sudah tertulis rapi pada bagian akhir pada paper. Itu juga yang membuat Chaeyeon merasa dihindari. Seolah dirinya semacam bentuk kesalahan yang patut dihindari.

disonansi rasa ; [chaeyeon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang