Part 1

57 4 0
                                    

Pranggg ....

Ku pecahkan celengan ayam yang sudah hampir satu tahun ku isi. Serpihan celengan berserakan di lantai juga beberapa uang yang nominalnya bervariasi.

'Alhamdulillah ... mudah-mudahan uangnya cukup untuk membeli tas yang selama ini aku inginkan."

Segera ku ambil satu persatu uang yang berserakan, merapihkan lalu menghitungnya. Nggak nyangka hasilnya lumayan banyak, yang terkumpul kurang lebih satu jutaan. Padahal itu sisa uang gaji yang aku sisakan setelah mentransfer ibu di kampung, sisa uang makan, juga untuk membayar uang kos.

Aku membetulkan kaca mata yang menempel di indra penglihatanku, hampir saja terjatuh. Kunciran rambut dan poni yang menutup mata, aku rapihkan. Segera kupakai blezer andalan yang sudah kusam warnanya. Dan keluar.

"Hai Batty, mau ke mana kau? Rupa-rupanya sudah rapih kali," pungkas Bang Situmorang pemilik kosanku dia asal dari kota Medan, tak aneh jika cara bicaranya kental sekali dengan logat Batak.

"Eh, Abang. Batty mau izin keluar sebentar. Boleh, kan, Bang?"

"Ya sudah, ke sana. Hati-hati kau di jalan, ya."

"Iya, Bang."

Aku segera menstop angkot lewat persis di hadapanku. Dan segera masuk ke dalamnya. Beberapa penumpang bergeser dari bangku angkot itu, dan diantaranya ada yang memperhatikanku dari atas sampai bawah, kemudian menutup hidungnya.

Aku mencium pakaian yang aku kenakan. 'Nggak bau, kok.' Tapi kok mereka seperti mencium sesuatu setelah berada di dekatku. Aku semakin tak mengerti kenapa. Satu menit kemudian ada yang menyapaku.

"Mbak, pake minyak wangi apaan, sih? Kok bau banget." Ketus seorang ibu tambun, sambil menutup hidungnya.

"Oh, i--ini minyak wangi pemberian nenek saya di kampung, Bu."

"Hemm, pantes bau banget! Ternyata minyak ala nenek-nenek yang dia pakai," tukas seorang laki-laki yang kutaksir usianya dua puluh tahun, sambil cengengesan. Beberapa diantaranya berbisik-bisik.

"Stop, Bang! Saya turun di sini saja."

"Loh, katanya ke Kemayoran, Bu."

"Nggak jadi, stop di sini saja. Dari pada sepanjang jalan saya mencium bau minyak seperti itu bikin mual, lama-lama saya bisa muntah. Ini uangnya," ketus si ibu tambun itu lagi, kemudian mendesak keluar.

"Aww," ringisku saat ibu itu sengaja menginjak kakiku. Pria yang tadi menyahut, kembali tertawa.

"Sial!"

Tak lama kemudian, penumpang lain juga berhamburan keluar. Sekarang hanya aku yang berada dalam angkot juga sopir.

"Neng, nggak ikut keluar juga?" tanya si sopir.

"Perjalananku masih jauh, Bang."

"Mending, Neng, naik angkot lain, gih. Soalnya saya mau pulang."

"Yah, si Abang mah. Gimana sih?"

"Maaf, ya, Neng."

Mau tak mau akupun segera keluar dari angkot itu. Beberapa detik kemudian angkot  melaju kembali. Aku duduk di bangku usang di dekat trotoar. Menoleh ke jam yang menempel di tangan.

'Sudah jam lima sore. Duh! Tokonya keburu tutup, nggak ya?'

Lamunanku terhenti, saat ada seorang nenek berjubah hitam tiba-tiba menggampiriku. Beliau menenteng sebuah tas, yang menurutku aneh.

Dia menatapku, kemudian menyodorkan tas itu.

"Ambilah," ucapnya.

"Apa, ini, Nek?"

"Itu, tas keberuntungan."

"Maksud Nenek?"

"Aku lihat, kamu adalah gadis yang berjodoh  pemilik tas ini."

"Tapi untuk apa?"

"Kamu sendiri akan merasakan manfaatnya, setelah memiliki tas ini. Tapi kamu juga harus menanggung akikabatnya."

"Maksud, Nenek?"

"Kamu mau, tidak?"

Aku semakin tidak mengerti apa maksud perkataan si nenek. Tapi berusaha mengerti, dan segera mengambil tas itu. Kemudian mengamati tas yang aku pegang sekarang. Aku tidak perduli apa nanti akibatnya yang terpenting tas ini bisa membuat aku lebih baik untuk ke depannya. Aku terus mengamati tas itu.

"Kok samar gini, ya, kelihatannya?"

Aku membuka kaca mataku, dan menggisik mata. Aku beberapa kali mengerdipkan mata, solah tak percaya. Tas yang aku pegang ternyata berubah menjadi tas yang selama ini aku impikan.

Aneh!

Aku segera mencubit tanganku, ini seolah serasa mimpi, tapi ini nyata. Ya, aku tidak mimpi. Dan yang lebih herannya lagi, tanpa kaca mata, aku bisa melihat jelas. Ku edarkan pandangan ke sekelilingku. Benar saja! Aku bisa melihat jelas tanpa bantuan kaca mata tebal ini.

Aku segera menoleh ke sebelah kiri, baru sadar, nenek yang memberikan tas itu, sudah tidak ada lagi di hadapanku.

'Ke mana nenek itu?' Padahal aku baru saja mau berterimakasih padanya. Karena berkat tas itu, penglihatanku jadi sembuh.

Segera ku lihat isi di dalam tas itu. Aku terkaget-kaget dibuatnya, bagaimana tidak? Yang aku lihat, isi di dalam tas itu, ada beberapa gepok uang pecahan berwarna merah. Aku kembali mengucek mata. Seolah tak percaya apa yang aku lihat saat ini.

"Astaga! Ini beneran uang. Banyak sekali."

Aku buru-buru menutup tas itu, khawatir orang lain melihatnya. Dan aku putuskan untuk segera pulang ke tempat kosanku kembali.

"Hei, Batty. Cepat kali kau kembali."

"Enggak jadi perginya, Bang."

Abang Situmorang terlihat heran menatapku.

"Batty! Kau habis dari salon, ya?"

"Enggak, kok, Bang."

"Jangan bohong, kau, ini. Aku lihat kau berbeda dari biasanya."

"Beda gimana, Bang?"

"Kau kelihatan lebih cantik, Batty. Tadinya aku tak percaya kalau itu kau. Tapi setelah aku perhatikan ternyata benar kau ini Batty yang aku kenal."

"Ah, Abang bisa saja," aku tersipu malu mendengar penutusan pemilik kos itu. Baru kali ini ada orang yang menyanjungku.

Sebelumnya?

Jangan ditanya. Kalian pasti tahu jawabannya.

Aku segera masuk ke dalam kosan. Ku amati lagi tas yang diberikan seorang nenek tadi. Aku usap tas itu, terasa lembut sekali. Mirip kulit manusia yang kini sedang aku pegang.

Aku terkesiap, kala mendapati bayangan seorang wanita sedang merintih kesakitan. Kulitnya sedang dikelupasi oleh seseorang.

Siapakah dia??

Bersambung ....

TAS KULIT MANUSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang