Prolog

31 3 0
                                    

Malam ini hujan melanda kota, tidak deras tidak juga rintik, namun yang menjadikannya berbeda adalah gemuruh yang memekakkan telinga disertai petir yang cahaya apinya menjulur-julur. Semua orang memilih berdiam di dalam rumah, entah melakukan apa, yang terpenting adalah tidak beranjak keluar dari rumah. Mereka enggan menantang langit yang tampak sedang berpesta. Jika semua enggan beranjak keluar maka berbeda dengan dia, dengannya yang sedang berjalan tenang di bawah guyuran hujan sambil sesekali menengadah keatas, menatap langit yang berhiaskan kilatan api. Indah, ujarnya sambil menyentuh telapak tangan kirinya yang entah kenapa mulai terasa aneh namun ia tetap melanjutkan perjalanannya.

                                                                                                      [ ]

"Aku pulang" teriak seorang laki-laki seraya memasuki rumah mungilnya.

"Ibu? Kakak?" teriak laki-laki itu lantang dengan raut penuh tanya.

"Ibu? Kakak?" ulangnya, namun tetap tidak ada jawaban, hanya sunyi.

"Bu aku lapar" lagi, seraya beranjak dari tempatnya berdiri lalu berpindah duduk dengan nyaman di sebuah kursi malas.

"Kak aku kedinginan" teriaknya lagi dengan pelupuk mata yang perlahan mulai basah.

"Kalian belum pulang ya? Ini sudah lama, aku sudah bosan sendirian dan sudah teramat bosan hanya makan mie instan" keluhnya entah pada apa.

"Aku janji tidak akan nakal lagi kalau kalian pulang, aku bersungguh-sungguh" ungkapnya berjanji namun kali ini disertai dengan buliran air mata yang mulai berjatuhan.

"Ahh kursinya basah" ungkapnya lagi pada diri sendiri sambil beranjak lalu memandangi kursi malas rumahnya yang basah akibat ulahnya bersama air hujan.

Lalu sebuah suara terdengar
"Heii!! Kau mau kupukul? Sudah kubilang jangan masuk kerumah dalam keadaan basah kuyup! Aku tidak mau tau, kau harus pel ulang lantainya, awas saja kalau tidak. Aku mau tidur" itu suara seorang wanita muda dengan wajah menekuk, raut kesalnya terlihat amat kentara.
Ahh tapi pasti wanita muda ini adalah kakak laki-laki itu, wajah mereka hampir sama.

"Ada apa lagi?? Masalah yang bagaimana lagi? Hah... Punya anak Cuma dua, ramainya berasa satu desa" ujar seorang wanita paruh baya sambil menggelengkan kepalanya, mungkin ini ibu mereka.

"Ibu, aku kan tidak sengaja membasahi lantai, diluar dingin bu, aku kehujanan jadi aku langsung masuk kedalam rumah. Tapi lihat kakak marah-marah padaku, nanti cepat tua tau rasa" adu laki-laki itu kepada wanita paruh baya yang disebutnya ibu.

"Siapa suruh bermain hujan, dasar anak kecil" ejek wanita muda itu.

"Tapi bu-..." 
balas anak laki-laki itu, namun terjeda karena hilangnya suara kakaknya dan ibunya lalu bayangan mereka pun turut sirna. Kesadaran laki-laki itu pun kembali, ia hanya sendirian di rumahnya.

"Aku benci kenangan, cepatlah kembali, atau aku akan membasahi setiap sudut rumah ini" ujar laki-laki itu kesal namun tersedu, terdengar terlalu pilu, memang suara kehilangan itu amat menyesakkan.

"Ibu, aku sudah di rumah, kenapa ibu sekarang yang pergi? Kakak, aku habis membasahi lantai dan kursi, kenapa kakak tidak datang dan memarahiku? Aku siap jika kakak ingin memukulku"

"Aku sendirian disini, kembalilah, aku rindu kalian"
kata anak laki-laki itu sebelum tenggelam dalam isakan menyesakkan yang diiringi tangisan serta geraman dari langit.

                                                                                                [ ]

Nyatanya bukan kehilanganlah hal paling pahitnya. Namun terjebak dalam kenanganlah yang paling terasa menyiksa, mencekik lehermu dan membuatmu tenggelam pada sesuatu tak berdasar.

Bukan, ini bukanlah sebuah kematian. Jangan menyebutnya kematian kalau tidak ingin menjadi kenyataan. Ini adalah sebuah kehilangan, hilang, lenyap, tak bersisa, bahkan untuk segenggam abu. Dan, apalagi yang lebih menyesakkan?

Lalu, apa ia harus meratap? Terus menangisi keadaan tanpa adanya gerakan yang berarti? Dan tenggelam dalam kenangan? Tidak, tentu saja tidak, ia tak akan diam. Ini bukanlah waktu untuk diam. Bukan waktunya membiarkan semua hal mengalir.

Hanya ada dua pilihan dalam hidup, yang selalu diceritakan kakaknya. Yaitu, berjalan mencari cahaya walau menyilaukan dan sulit, atau duduk diam dalam kegelapan yang menenangkan dan mudah. Dan tentu ia benci kegelapan walau ia menenangkan.

Seperti, untuk apa ada riak kalau hanya tenang air yang dibutuhkan oleh alam. Selalu ada kata tetapi dalam sebuah kalimat dan selalu ada pertentangan dalam sebuah keputusan. Ia akan menentang serta mencari tetapi untuk semua hal yang berbeda dari hatinya atau segala hal yang menghalangi jalannya.






Dnd.

The Last - TelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang