Bab 1 - Siapa?

13 1 0
                                    

3 bulan yang lalu

"Apa harus kuberi tahu sekarang bu?" tanya seorang wanita muda itu, Aruna, panggil saja begitu.

"Apa harus?" kalimat tanya itu dilontarkan balik oleh seseorang yang dipanggil bu oleh Aruna.

"Lalu apakah dia harus hidup dengan mata yang buta dan telinga yang tuli?" ungkap Aruna disertai gemercik emosi yang mulai menjalar.

"Tapi ini bahkan belum men-.... "

"Dorr" kejut sebuah suara yang tiba-tiba datang memotong perkataan wanita paruh baya itu.

"Astagaaa bocah satu ini" geram salah seorang diantara dua wanita itu, yang tentu wanita muda itu.

"Ngomongin apa sih?? Aku ga pernah diajak ga pernah dikasih tau, aku kan kepo" rajuk laki-laki itu.

"Ihh bocah kalau dikasih tau nanti malah nangis, siapa susah? Aku lagi. Males banget" balas Aruna, hmm terdengar pedas dan seperti mengibarkan bendera perang.

"Bocah-bocah gini tapi masa yang tua cuma sebahuku aja? Ga malu apa? Kakak pendek" balas Bima sombong, Abimanyu namanya, nama anak laki-laki itu.

"Kamu itu cuma kebanyakan nyemil tiang listrik makanya tinggi, aku mah mana mau nyemil tiang, kayak apa aja, emang kamu, dihh" ejek Aruna lagi lalu beranjak pergi menjauh dari adiknya.

"Ihh bodo amat, kakak udah pendek, tua jomblo lagi, kan malu" balas Bima tak mau kalah yang sukses dihadiah i sebongkah sandal rumahan yang terparkir indah dikepalanya.

"Sakit tau kak, ish" erang Bima

"Ihh ya bodo"

[ ]

"Lagi-lagi hujan" ungkap Bima disertai kenaikan nada pada kalimatnya, seperti hendak memberi tahu, entah pada siapa.

Hari ini memang hujan, seperti malam-malam sebelumnya. Entah kenapa selalu malam hari, membuat udara kian terasa menusuk. Apalagi gemuruh dan sambaran kilat tak pernah absen memasukki kelas hujan yang diadakan semesta.

"Arrghh" pyarr... Sebuah suara bersamaan muncul datangnya dengan pecahan gelas yang berhamburan di lantai. Kenapa bisa jatuh? Pikir Bima.

"Kenapa sakit sekali dan lagi?" tangan kirinya terasa nyeri, teramat nyeri walau tidak ada goresan luka yang timbul. Kecuali berkas warna biru yang muncul di tangannya, terlihat samar dan janggal.

"Ibu tanganku sakit, apa ibu tau sakit sekali bu" keluhnya, lalu memejamkan mata namun bibirnya tampak menggumam, merapal kalimat yang sama, berharap nyerinya segera hilang.

Ahh nyeri tangannya terlihat ganjil, dokter pun bilang tak ada yang salah dengan tangannya. Mungkin kram? Atau lebam? Ahh, pemikiran itu muncul dalam benaknya. Namun, kenapa hanya setiap malam dan setiap hujan disertai petir? Kenapa selalu sama? , pikir Bima meragu pada kemungkinan yang ia lontarkan sendiri.

"Tidak tahu lah, aku bingung. Lebih baik aku membersihkan pecahan ini, jika Kak Aruna tau, aku pasti direbusnya bersama sup ayam andalannya itu" ungkapnya lalu beranjak memungut pecahan gelas, ulah tangannya.

[ ]

Harusnya tidak ada yang aneh hari ini, namun setelah membersihkan pecahan itu dan memutuskan untuk tidur di kamar Aruna, kakaknya. Ia mulai merasakan keanehan. Kamar kakaknya selalu rapi tidak ada yang berserakan bahkan sejak kakaknya menghilang ia tidak pernah menyentuh barang-barang kakaknya kecuali tempat tidur.

Lalu siapa? Ulah siapa? Hanya aku yang ada dirumah ini, batin Bima.

Ia mulai penasaran namun sekaligus merasa takut, bagaimana tidak, barang-barang yang semula hanya diam kini berpindah tempat, seperti habis diacak-acak oleh seseorang. Pasti ada orang jahat bukan?

"Wahh apa aku tidak sendirian disini?" teriak Bima lantang, ingin mengusir rasa takut yang kini merayapi jiwanya.

"Heyy kalian! Jangan diberantaki dong! Kalau kakakku tau, aku pasti yang akan digantungnya" ungkap Bima dengan suara lebih keras lagi. Berusaha mencari tau, memancing siapapun yang ada di rumahnya untuk keluar, walau tentu saja ia ketakutan, ahh nekat dan takut kan hanya dibedakan dengan dinding setipis benang.

Kik..kik..kik..
Terdengar suara, seperti mengkikik geli, mungkin berasal dari sudut gelap ruangan itu.

"Wahhh heyy!! Jangan tertawa mengkikik atau berbisik disini" cicit Bima, ketakutan yang dirasakannya semakin menjadi, adrenalinnya terpacu.

Ia ingin keluar, namun takut jika makhluk mengkikik ini didepan pintu keluar dan memangsanya, ahh abaikan pemikiran bodohnya.

"Bel apa kita membuat manusia ini takut? Apa kita menakutinya?" suaranya terdengar lagi, kali ini lebih jelas walau masih sama lirihnya

"Kau benar Ivy, menyenangkan bukan membuat mereka takut, manusia selalu seperti ini" ohh suaranya terdengar lagi, tapi terdengar lain.

"Hanya Aru yang tidak takut dan tidak segan mengusir kita dari tempat hangat ini, kira-kira ia kapan kembali" suara itu terdengar lagi, tanpa sahutan seperti sebelumnya.

Dan sepi kembali menguasi ruangan ini, sudah tidak terdengar lagi kikikan, bisikan dan pergerakan benda, semua kembali sunyi.

Ahh setidaknya mereka sudah diam, tapi tunggu, mereka menyebutku manusia? Lalu? Mereka tentu bukan manusia bodoh, batin Bima sembari memukul pelan kepalanya.

"Apa aku harus tetap disini? Aku harus mencari tau makhluk apa mereka. Dan siapa Aru? Apakah Aruna? Kakakku? Ahh ini rumit, membuat kepalaku berdenyut" gumam Bima sembari merebahkan tubuhnya lalu bergelung dalam selimut.

Ia memang takut, tapi rasa penasaran yang mencegahnya meninggalkan ruangan itu. Ia harus mencari tau, siapa makhluk-makhluk itu.Mungkin juga hubungan mereka dengan kakaknya, dan tujuan mereka.

Bima merasa ia harus tau, ia tidak ingin buta dan tuli terhadap sekitarnya walau itu membahayakannya. Setidaknya itu nasehat kakaknya agar ia bisa menghadapi dunia jika kakaknya tidak lagi bersamanya.

"Ahh akhirnya aku harus mencari tau sendirian, menemukan ujung rasa penasaranku sendirian, seandainya kakak disini tentu kakak akan membantuku menemukan semua yang kucari. Cepatlah pulang kak, atau aku akan memakan semua cookies mu" lirih Bima sebelum memejamkan matanya.




Dnd.

The Last - TelasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang