Dua hari setelah kami menyusuri air terjun untuk mencari inspirasi, kami tidak lagi bertemu. Kami disibukkan dengan tugas kuliah masing-masing. Aneh, aku rindu. Namun, aku tidak ingin begitu cepat menyimpulkan bahwa ada rasa yang tumbuh di diriku pada kenalan yang baru saja aku kenal itu. Hal itu ditambah aku masih belum bisa menulis selain Alfi. Tidak mungkin perasaan ini adalah bentuk pelampiasan dari patah hati, tapi tetap saja harus berhati-hati, agar ujungnya tidak saling menyakiti.
Sebuah notifikasi pesan singkat masuk ke ponselku. Pesan itu berasal dari Arun.
"Bukit?"Begitu isi pesan dari Arun.
"Kapan?"
"Nanti, aku jemput, tapi makan dulu."
2 jam kemudian
"Leya, aku sudah di depan, nggak usah masuk dulu, deh."
Kami berangkat menuju bukit yang dimaksud Arun. Perjalanan memakan waktu yang cukup lama sampai aku ingin tertidur saja, tapi tidur di motor adalah hal yang sangat berbahaya. Setelah berkendara selama kurang lebih satu jam, kami sampai di halaman rumah yang menjadi tempat parkir sekaligus loket. Arun terlihat berbincang dengan salah seorang yang ada di tempat itu, mungkin kawan lamanya. Seseorang dengan perawakan cukup besar menawarkan kami tumpangan untuk ke atas bukit, tapi Arun menolak dan berkata bahwa kami akan berjalan saja. Harga yang harus dibayar untuk satu tumpangan cukup mahal, yaitu dua puluh lima ribu rupiah, mungkin terhitung wajar untuk jalan menuju bukit yang curam dan tidak bisa dikatakan bagus.
"Begitu saja usahamu untuk mencari inspirasi?"
Belum 15 menit berjalan, aku sudah memilih untuk duduk sebentar di dekat pohon. Jalan menuju atas bukit harus aku akui sangat curam ditambah tanah yang licin karena sepertinya telah dibasahi hujan semalam. Aku meneguk air dari botol yang aku bawa, Arun ikut duduk di sampingku sebelum pada akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Lebih dari setengah jam perjalanan, kami disambut pemandangan hijau puncak bukit yang langsung bertemu dengan birunya air laut. Pemandangan yang sangat indah sampai aku ingin mendirikan rumah saja di sini untuk selamanya. Beberapa orang yang baru sampai di tempat ini segera mengabadikan momen dan berfoto dengan pose bermacam-macam berlatar pemandangan biru-hijau yang disuguhkan bukit ini.
"Bu, nasi bungkusnya dua."
Arun memesan nasi yang dijual oleh perempuan paruh baya yang berjualan di puncak bukit ini.
"Indah, ya?"
"Sangat, terbayar."
"Le, langkah pertama untuk melepas seseorang adalah mau."
"Iya, Run. Detik ini aku sudah memulai."
"Dulu, saat kamu meminta kesempatan kembali ke Alfi, pasti banyak teman-teman kamu yang marah ke kamu."
"Iya, dan aku tetap saja pada keinginanku, dengan melakukan itu aku terlihat benar-benar memperjuangkannya, walaupun dia tidak."
Sepoi-sepoi angin menerpa wajah kami, dunia terasa sangat tenang dan damai, asal kami bersama.
"Deadline puisinya kapan?"
"Satu bulan lagi. Sudah ada gambaran?"
"Jika puisiku harus benar lepas dari sosoknya, maka jawabannya adalah belum."
Sebuah narasi melintas di pikiranku.
Luas
Kau pukul aku tak waras
Duniamu luas
Hadirku hanya sepintas
Pergi tak sebatas khayal
Namun lupa bukan hanya asbab sial
Penjara dalam dirimu ialah danau
Dan tenggelam merangkai ribuan halau
Hilang dalam parau
Sedih pecah sampai keping keseratus
Kau adalah neptunus
Trisula menusuk sampai habis rupa
Berjelaga
"Leya, dua tempat sudah kita kunjungi bersama. Masih puisimu tentang orang itu?"
Duduk bersama di atas bukit menjadi tidak lagi menyenangkan setelah mendengar pertanyaan itu. Bukannya aku tidak benar-benar ingin lepas darinya, tapi tiga tahun hanya menulis untuk orang yang sama membuatku sulit untuk menemukan inspirasi baru. Bila saja mudah untuk berpaling dalam tulis, maka tulisanku kini hanya untuk Arun karena dia telah membuatku bahagia.
"Aku berusaha, Arun, aku berusaha."
Seorang penggembala sapi melewati kami bersama sapi-sapinya.
"Sapi,
Tubuhmu sungguh gemuk
Kau memakan rumput
Menghasilkan susu
Aneh, seperti Leya."
Kami tertawa.
"Kamu lagi dengar lagu apa?"
Arun membagi sebelah earphonenya padaku. Lagu dari band The Beatles dengan judul Across the Universe menemani kami yang kembali dalam renungan masing-masing. Renungan itu membawaku bernostalgia jauh ke masa SMA di mana aku baru mengenal Alfi.