O5. Lost

2.9K 404 123
                                    

Lisa memaku tatkala sapu itu menghantam keras perutnya. Lisa menggeliat kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya sudah biru dipukuli sapu. Lisa menangis.

"Ampun ... Ampun ...," lirih Lisa.

"Ampun? Kau pulang terlambat dan tidak membawa sepeserpun uang, dan kau meminta ampun? Ikut aku, aku akan membunuhmu!"

Ia menyeret Lisa ke kamar mandi, menyiramnya dengan air dingin sampai Lisa menggigil. Lututnya perih.

"Cukup ... Ampun ..."

Masih diacuhkan, Lisa yang terduduk di lantai dengan segera memeluk erat kaki Ibu Panti.

"Ampun ..." lirihnya.

Ibu Panti memalingkan wajahnya. Dengan kejam menendang tubuh Lisa dan menguncinya didalam kamar mandi.

Lisa bangkit, namun tak bisa. Kembali jatuh terduduk walau sudah beberapa kali mencoba. Ia menangis.

"Tuhan, bunuh aku sekarang ...,"

;

Jennie menatap  pintu coklat yang tertutup di depannya. Pintu kamar ibunya yang dari kemarin belum membuka.

Pikiran negatif bersesak di benak. Membuatnya tak mampu berhembus napas dengan lega barang sejemang.

Lantas, ia beranikan diri mengetuk, "Ibu, Ibu di dalam?" panggilnya.

Tak ada jawab.

Ia mengetuk lagi, "Ibu, ayo makan malam," ujarnya.

Masih hening.

Jennie membasahi bibirnya. "Ibu, aku masuk, ya?" ucapnya. Ia memutar gagang pintu, dan mendorongnya pelan.

"Ibu!" serunya.

Jennie kaget bukan main. Ibunya tergeletak dilantai, tepatnya di sisi kaki ranjang dengan pil-pil putih kecil berceceran di sebelahnya.

Ia goncang tubuh ibunya. Masih tak berhasil. Jennie gemetar. Ini tidak mungkin. Tidak, ini tidak boleh terjadi.

"Ibu, bangun!" Jennie kembali berusaha. Ia goyang tubuh ibunya ke kanan dan ke kiri. Namun masih sama.

Jennie menangis kencang. Itu tidak boleh terjadi. Cukup kebahagiaannya yang takdir renggut, ibunya jangan. Meski Jennie tak pernah merasakan cintanya, Jennie masih membutuhkannya.

Tangan ibunya dingin bukan main. Bibirnya juga pucat sekali. Kulitnya pun hampir seputih mayat. Itu membuat Jennie semakin kalut.

Lalu Jennie menyerah. Ia peluk tubuh ibunya, merangkul tubuh dingin itu dalam hangatnya. Dengan tangis kesakitan yang sudah tak lagi terdengar.

"Selamat beristirahat, Ibu. Putrimu mencintaimu," bisiknya.

;

Tiada alasan untuknya tersenyum pagi ini. Begitu sakit mengakui bahwa ia masih tegar. Betapa kejamnya takdir, Jennie tak mau tahu apa yang akan direnggutnya lagi.

Pandang Jennie kosong. Pemakaman ibunya baru saja selesai. Kini tak ada lagi harapan untuknya. Seorang Ibu yang dicintainya, pergi mengistirahatkan lelahnya. Ini tidak adil.

Jennie kini sebatang kara. Tanpa ayah, tanpa ibu. Hari-hari Jennie berikutnya akan kelabu, tanpa sosok siapapun menjadi bahu.

Bagi Jennie, hadirnya saja sudah membahagiakan. Setidaknya ia tahu bagaimana rupa malaikatnya, walau tak pernah merasakan belai lembutnya.

[✔] ambilkan bulan, eonnie! [ tersedia e-book ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang