Seperti biasa, Lisa kembali duduk dan mengemis. Kali ini, ia berpindah tempat karena tahu Sowon dan kelompoknya pasti akan datang dan mengusiknya lagi.Perut yang keroncongan ia biarkan. Lebih baik mati kelaparan daripada mati disiksa, benar? Well, lebih baik tidak mati.
Saat sedang menghitung pendapatannya hari ini, tiba-tiba datang pria setengah baya dengan wajah galak menendang kaleng Lisa. Membuat koin yang ia susun sedemikian rupa tercecer di trotoar karena orang itu. Lisa marah.
"Paman, kau sengaja, ya?" tanyanya setengah berteriak.
"Apa masalahmu, pengemis? Jangan menghardikku!" Bapak itu membentak balik.
"Jangan panggil aku pengemis!" Lisa menendang sepatu pria tadi dan membuatnya murka. Pria itu mengangkat tangan, hendak menampar Lisa. Namun tangan lain menahannya.
Lisa melihat pemilik tangan itu. Seorang remaja yang tak terkalahkan cantiknya dengan celemek menutupi sebagian pakaiannya. Matanya tajam namun imut. Pipinya yang menggelembung menambah kesan manis walau sedang marah.
"Mungkin Anda mengira orang miskin akan takut kepada pejabat besar. Namun saya sama sekali tidak takut dengan pria tanpa akhlak. Jangan tampar anak kecil ini, Anda mengerti?" ucapnya dingin.
Pria itu menatap beberapa detik Lisa, baru kemudian menghempaskan tangannya kasar dan bergegas pergi. Lisa sendiri masih bingung.
Perempuan tadi tersenyum manis kepada Lisa, "kau tak apa?" tanyanya. Suaranya lembut dan hangat. Suara bak sutra itu menyentuh dalam kalbu Lisa. Tak sadar, Lisa menangis.
"E-eh, apa pria tadi sempat menyakitimu?" Perempuan tadi berubah cemas.
Lisa cepat menggeleng dan menghapus airmatanya. Remaja tadi tersenyum, ia menjulurkan tangannya yang putih dan halus, "Aku Jennie,"
"Lisa,"
Mereka berjabat pelan. Jennie tak henti tersenyum manis, "Rumahmu dimana, Lisa?"
Kali ini Lisa terlihat bingung. Memang ia tinggal di Panti Asuhan, namun Panti Asuhan itu tak akan bisa disebut rumah untuknya. Panti Asuhan itu lebih cocok dipanggil neraka baginya.
"Aku tidak punya rumah," jawab Lisa.
Hati Jennie tercubit, "Lisa tidak punya rumah?"
Lisa menggeleng.
Jennie menghela nafas. "Lalu Lisa tinggal dimana?" tanyanya lagi.
Lisa menjawab, "Panti Asuhan."
"Orangtua Lisa kemana?" Jennie bertanya perlahan.
"Dulu, Dokter bilang, orangtua Lisa sudah di langit, menunggu Lisa," jawab Lisa polos. Jennie menggigit bibirnya saat iba menjalari hati.
"Hei, Jennie! Kau kusuruh memanggang roti, bukan bergaul dengan anak buangan!" teriak seseorang.
"Sebentar, Bu!" Jennie menjawab dengan lembut. Berpamitan dan mengusap rambut Lisa perlahan, lalu menyusul Ibunya.
Mata Lisa tidak lepas dari sosok bidadari cantik yang barusan menyelamatkannya. Jennie. Jadi, namanya Jennie.
;
Lisa dan lainnya kembali ke Panti Asuhan saat petang menyapa. Lisa mendapat tepat duapuluh lima ribu. Walau sedikit, Lisa bersyukur akhirnya bisa mengisi perut kecilnya.
Lisa langsung tertidur begitu sampai di kamarnya. Awaknya remuk setelah seharian berjongkok dibawah siraman Mentari.
Di malam, Lisa menatap Rembulan. Kali ini senyum yang menemani malamnya. Sebelum tertidur, Lisa berharap besok bisa kembali bertemu Jennie.
Di ruang dan situasi lain, seorang remaja cantik menangis sendirian di pojok kamarnya. Dia Jennie. Gadis manis yang cantik dan periang namun menyimpan rasa sakitnya sebagai korban broken home. Semua tetangganya tahu keluarga Jennie tidak pernah damai.Sayup terdengar suara tamparan dari luar sana. Jennie menggigit bibirnya. Lalu teriakan dan bentakan melintas di gendang telinganya. Setelah ini, biasanya Ibunya akan menjadikannya pelampiasan emosi dengan di marahi tanpa alasan sepanjang malam.
Teriakan ayahnya mereda, telinganya kini hanya menangkap isakan ibunya.
Benar saja, ibunya masuk ke kamar Jennie. "Aku menyesal menikahi ayahmu, sialan!" bentaknya. Jennie hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya.
"Jennie, minta maaf padaku!" teriak Ibunya.
"Maaf, Ibu," lirihnya. Air mata kini membasahi wajahnya. Dadanya sesak. Dia mengulang-ulang ucapan maaf yang tidak punya alasan. Berharap ibunya puas dan pergi, jadi ia bisa tertidur. Karenaㅡsungguh, ini tengah malam.
Ibunya mulai berteriak-teriak membentak Jennie. Jennie masih diam tanpa perlawanan, karena ia sayang ibunya. Ibunya sama sekali tidak bersalah.
"Ibu," panggil Jennie lirih.
"Kumohon, jangan menangis ...,"
;
"Bangun, pemalas!" Teriakan Ibu panti merasuki seisi telinga Lisa. Guyuran air dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ayolah, ini pagi buta!
"Hari ini giliranmu memasak, 'kan? Sana!" gertak Ibu Panti. Wanita itu kembali menyiram tubuh Lisa, "Cepat sana!" teriaknya. Lisa bangkit dan berjalan ke dapur. Sebal mendominasi wajahnya.
Cepat-cepat ia dan beberapa anak Panti lainnya membereskan dapur sekaligus memasakkan makanan untuk yang lainnya.
Sungguh, lebih baik Lisa kabur kalau begini. Seringkali ia mengatur strategi untuk kabur. Bahkan pernah sekali ia hampir lolos. Namun saat bersembunyi, Ibu Panti datang sambil menangis bersama beberapa polisi. Akhirnya ia dipaksa kembali ke Panti Asuhan. Namun sampai disana, Lisa justru dipukuli lagi.
"Sudah?" Ibu Panti datang bak hantu. Membuat Lisa terkaget.
"Sudah," jawabnya. Lisa kini bergegas ke kamar mandi. Menyiram tubuh kurusnya dengan air segar di pagi hari. Lalu bersiap lebam lagi nanti sore.
;
Netra Lisa tak sengaja menangkap satu tangan yang melambai riang kepadanya. Senyum Lisa kembali muncul. Dia, Jennie dengan senyum yang luar biasa manis melambai kearahnya.
"Hai, Lisa!" serunya dari pintu toko. Perlahan Lisa membalas senyumnya. Tipis. Malu. Padahal semalaman tersenyum lebar.
Jennie kembali sibuk dengan tokonya. Sebuah toko roti yangㅡLisa benar-benar ingatㅡpernah ia masuki.
Lisa terkesiap seorang sendiri. Bagaimana bisa Jennie yang lembut dan baik punya Ibu yang kasar? Lisa tak habis pikir, kenapa saat itu bukan Jennie saja yang menjaga tokonya.
Mata Lisa berpindah ke kalengnya. Dia punya hampir empatpuluh ribu. Lisa harus makan malam, malam ini. Lisa sama sekali belum pernah mencicip kebaikan Ibu Panti untuknya.
Namun keberuntungan seolah enggan mendekat pada dirinya. Lisa merasa pusing di kepalanya. Kalian tahu, sengatan panas?
Lisa merasa kulitnya dibakar. Seluruh tubuhnya dibanjiri keringat. Kakinya melemas. Pandangannya memburan. Nafasnya cepat, tersengal-sengal.
Lisa menggeliat sakit di tempatnya duduk. Tidak pernah ia merasa seperti ini. Bahkan dipukuli setiap hari pun Lisa tidak pernah jatuh sakit.
Sakit kepalanya semakin menjadi. Semua berputar. Lisa juga ingat dia belum makan, karenanya ia merasa perutnya seperti diaduk-aduk. Mual rasanya.
Lisa berteriak serak minta tolong. Namun seolah tak ada yang melihatnya. "Tolong!" teriaknya sekali lagi. Lisa tahu benar dehidrasi biasa tidak menyebabkan sesak.
Pandangannya perlahan menggelap. Jalanan dan bising di jalan raya memudar begitu saja. Lisa bisa merasakan, cairan pahit itu keluar dari mulutnya. Banyak.
Lisa tak sadar diri. Malang, sendirian, di pinggir jalan. Dengan kesakitan yang luar biasa. Tanpa satupun melihat. Tanpa satupun peduli. Bahkan Penciptanya belum mengirim bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] ambilkan bulan, eonnie! [ tersedia e-book ]
Fiksi Penggemar❝Tentang dua sosok berselimut luka yang sama-sama menyembuhkan.❞ 2O2O ; ©STARAAAAA- [ beberapa part sudah dihapus, tersedia versi e-book. ]