Hanya Mikasa

196 22 8
                                    

Attention : Cerita ini tidak ada hubungannya dengan Cerita aslinya (Attack on Titan) perbedaan yang mencolok akan bertebaran.

Mikasa Ackerman tak tau harus melakukan apa saat sang pelayan menyuapinya bubur. Jika Mikasa menolak, kendati ibunya pasti marah-marah tidak jelas. Namun coba pikir kembali, jika Mikasa menurut diperlakukan seperti anak kecil terus menerus, mungkin kedewasaannya bisa datang terlambat. Sial. Mikasa mengumpat dalam hati saat pelayan itu menyodorkannya segelas susu. Disusul kotak bekal yang Mikasa yakin seratus persen berisi nasi goreng dengan toping bermacam bentuk.

"Sayang, jika kau mau berangkat, kunjungi rumah Paman Grisha, ya. Jangan kabur bersama Connie dan Armin. Ibu tidak mau kau menjadi anak nakal jika berteman dengan dua bocah itu terus-menerus."

Mikasa memutar bola matanya. Ocehan ibunya itu benar-benar mengacaukan pagi Mikasa yang memang selalu kacau. Entah apa yang merasuki wanita itu hingga selalu mengawasi Mikasa bahkan saat mandi sekalipun. Tidak, jangan berpikiran terlalu jauh sebab wanita itu mengawasi Mikasa dari luar. Memastikan Mikasa benar-benar mandi? Mungkin. Sebab, tak jarang Mikasa keluar rumah dalam keadaan berantakan khas bangun tidur. Itupun tanpa mengganti pakaian dan menyentuh setetes air pun.

"Mikasa." suara bocah yang diiringi ketukan pintu itu seketika membuat wajah Mikasa semakin murung. Gadis bernetra legam itu melirik penuh dengki bocah bersurai cokelat berantakan di depannya, lantas berdecih. "Citramu sudah buruk di mataku. Tidak usah tersenyum." Mikasa beranjak dari tempatnya duduk, meninggalkan bocah yang tidak tau apa-apa di ruang makan sendirian.

"Bibi, apa Mikasa selalu membenciku seperti ini?" Carla Jeager keluar dari kamar mandi lantas membelai surai bocah laki-laki di depannya dengan tatapan sendu. "Kurasa hubungan kalian tidak akan pernah membaik."

Eren Jeager menatap Carla sejenak, lantas menundukan kepala. Hati Eren seakan tertusuk ribuan jarum saat Mikasa menolak kehadirannya, menatapnya sinis, dan tak jarang mengumpatinya. Dimana letak kesalahan Eren? Dia hanya ingin berteman dengan Mikasa sebelum pernikahan Grisha dan Carla, tidak lebih. "Huft, sudahlah bibi, jika bukan hari ini, setidaknya masih ada hari esok," ucap Eren sembari mengukir senyuman tipis, lantas terdiam dalam senandika yang tak kunjung mendapat pasti.

Carla pun turut tersenyum. "Kau adalah anak laki-laki yang paling aku sukai." setidaknya bocah laki-laki ini yang akan menaikkan derajatnya kelak di masa depan. Toh, Mikasa tidak ada gunanya. Hanya menghabiskan pengeluaran bulanan saja. Andai kata Eren tidak memaksanya untuk tetap merawat Mikasa, mungkin sudah Carla telantarkan bocah bermarga Ackerman yang ia temukan di pembuangkan sampah kala itu.

Benar-benar merepotkan

***

Mentari telah menampakan diri beberapa saat yang lalu. Sinarnya menyela pada jendela yang tertutup korden tipis, kamar yang semula gelap mulai tampak wujud aslinya yakni interior classic dengan warna dominan hitam putih, sekaligus membuat sang pemilik kamar, si gadis bersurai malam, melengguh (terbangun) karena wajahnya pun turut terpapar sinar.

"Sudah pagi?" Mikasa menyingkap selimut yang ia kenakan, lantas beranjak dan duduk di samping ranjang. Netra legamnya menilisik, tertarik untuk menatap jendela besar yang menampakan wujud Kota Sina yang sedang sibuk, berniat merenungkan diri. Ngomong-ngomong, ini bukan pertama kalinya Mikasa termenung tanpa sebab yang jelas, ratusan kali? Atau mungkin ribuan kali? Entahlah, yang pasti merenung adalah kegiatan wajib yang tak pernah ia lewatkan semenjak beberapa tahun terakhir.

Anata No SekaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang