Merasa Iba

156 18 6
                                    

Seharusnya Rivaille tidak perlu merepotkan diri sendiri dengan membantu gadis asing di depannya. Membantu? Dari sisi mana dia membantu? Ntahlah. Rivaille hanya membasuh kaki Mikasa dengan air agar lukanya tidak terjangkit bakteri dan membusuk (ini hanya angan-angan bodoh Rivaille saja) karena dia benci sesuatu yang bobrok. "Menggerikan, membayangkan saja membuatku ngeri." air muka Rivaille berubah masam. Mikasa mengerutkan kening.

"Hei bocah suram, apakah kakimu masih terasa sakit?" baiklah, ini bodoh. Rivaille mencoba berbasa-basi (lebih tepatnya mengalihkan pembicaraan) namun nada suaranya terdengar kasar. Sialan, kenapa disaat seperti ini mulutnya tidak bisa diajak kompromi?

Mikasa mendongak. Menatap netra kelam yang mengintrupsinya dengan tatapan tajam. Mendengus pelan, lantas berkata, "apakah kakiku terlihat baik-baik saja dimatamu?"

Rivaille mengambil sapu tangan dari saku seragamnya, lantas berjongkok. Ia membalut luka Mikasa menggunakan sapu tangan itu karena enggan bakteri memakan kaki gadis malang ini, sementara sang empunya meringis kesakitan. "Ini benar-benar perih," cicit Mikasa. Netranya menerawang langit.

"Tentu." Rivaille menjawab singkat. "Dasar merepotkan," lanjutnya lirih. Tangan Rivaille masih sibuk membalut luka mikasa dan mengikatnya perlahan. Selepas rapi, ia pun menepuk-nepuk balutan itu. Tidak ada alasan yang jelas. Kening Mikasa semakin berkerut. "Cukup parah, namun tak terlalu membahayakan. Paling-paling sembuh lima hari kemudian, mungkin." dengan enteng Rivaille berceloteh. Mikasa melotot tajam. "Lima hari? Dimana otakmu? Luka ini tak akan sembuh jika tidak dijahit."

"Kau tinggal membawanya ke dokter dan menjahitnya di sana. Kenapa kau menyalahkanku, dasar idiot?" Levi membalas nyalang.

"Siapa yang menyalahkanmu?" Mikasa tak mau kalah.

"Cukup. Aku tidak suka perdebatan. Pulanglah merangkak. Aku tidak mau menggendongmu." Rivaille berdiri.

Mikasa tak berniat membalas. Lebih baik dia berusaha berdiri daripada terus-terusan berkerut hati karena Rivaille. Tangannya berusaha menopang tubuh, namun gagal, dia malah jatuh tersungkur. Memutar bola mata, Rivaille yang merasa tidak tega pun memapah gadis itu.

"Jam sekolah belum selesai dan kau menyuruhku pulang?" Mikasa menarik kerah seragam Rivaille hingga kancingnya lepas satu. Rivaille melotot, sementara Mikasa meringis (tidak enak hati) karena tenaganya terlalu kuat.

Levi menatap tajam Mikasa, lantas berkata, "sekolah dipulangkan setelah kau pingsan sebentar tadi." Mikasa menganggukkan kepala tanpa protes. Dia tidak bisa berbasa-basi. Sama halnya dengan Levi. Dingin dan kaku, susah berekspresi.

Matahari masih bersemayam di tengah langit. Sinarnya semakin mencolok. Tempat ini semakin nampak wujud bobroknya. Mikasa sedikit menyesal, namun persetanlah, setidaknya tempat ini menenangkannya dari permasalahan keluarga Jeager walau sejenak. Bisa-bisa ia mati muda jika dipaksa memikirkan sesuatu yang membuatnya stress terus-menerus.

"Hei bocah suram, kau bisa berjalan apa tidak? Apakah saraf kakimu mati?" baru melangkahkan kaki, Mikasa dibuat naik pitam karena ucapan Rivaille. Berusaha tidak peduli, Mikasa terus berjalan walau tertatih-tatih. Ucapan Rivaille tak semenawan parasnya, bahkan berkali-kali lebih busuk daripada omongan Carla. Sepertinya mulut itu tidak diajarkan tata krama, pun paket lengkap dengan hatinya yang beku merasakan iba. Benar-benar aneh, bagaimana manusia seperti dia bisa hidup di lingkungan masyarakat? Mikasa tak habis pikir.

"Berhenti!" Mikasa bernapas lega, akhirnya orang itu punya rasa simpati. "Siapa namamu?" sudahlah, percuma mengharapkan sesuatu yang semu.

"Namaku Mikasa."

"Hanya Mikasa?"

Mikasa tersenyum tipis. "Namaku Mikasa, Mikasa Ackerman."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anata No SekaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang