-Lalu

64 17 55
                                    

~Semua membenci?,
tenang saja. Allaah mencintaimu~

Kini aku lega sekaligus gelisah, hari pertama di sekolah baru sudah mendapatkan cacian, hinaan, cemoohan, makian, serta hujatan yang sebenarnya sudah kuduga.

Seperti di sekolah-sekolahku terdahulu. Tidak ada yang berubah, yang seperti itu sudah jadi hal yang lumrah bagiku, saking seringnya. Bahkan, bisa dikatakan mendarah daging.

Tapi, aku tidak pernah menyangka bertemu lagi dengan orang yang selama ini kutitipi dendam. Sedari dulu, dendam ini rasanya tidak pernah padam. Meski berkali-kali Ibu menasehatiku, padahal aku tau, bagaimanapun dendamku kepadanya, tentu saja tidak akan merubah apapun.

Aku duduk di bangku kedua dari depan. Berhubung memang di sebelah gadis berambut pirang itu kosong. Mata bulat dan juga kulit putih ditambah bibirnya yang ranum, sangat cantik.

"Hai!" Sapanya

"Halo!"

"Gue Angel. Nama lo Lani, kan?"

"Iya, aku Lani."

"Lo cantik."

"Kamu lebih cantik" dia dengan parasnya yang cantik bisa memuji orang lain, aku merasa dia orang baik, mengingat banyak di luar sana yang glowing merendahkan yang burik.

Lama aku dan Angel bercerita, tiba-tiba grasak-grusuk datang siswa dengan ekspresi bagai mendapat undian mobil.

"Woeee, Ibu Ratna lagi sakit, horeee!" seru salah seorang siswa dengan rambut ikal.

"Sumpah, demi apa?"

"Akhirnya, setelah lama bersekolah aku jumpai hari kamis dengan manis."

"Senangnya dalam hati, kalau beristri dua" senandung salah seorang siswa yang perut buncitnya ikut bergoyang.

"Terima kasih, Tuhan." sampai ada yang merapalkan syukur.

Aku sampai terheran-heran melihat seruan teman-teman sekelasku. Pasalnya, orang sakitkan harusnya didoakan dan kita turut sedih, ini kok bahagia tiada tara, yah?

"Lo pasti heran, kan?" ujar Angel menangkap kebingunganku.

"Eh, hehe. Iya. Ini kenapa, yah?"

"Santai lagi, Ibu Ratna itu guru terkiller sejagat raya, sedunia, sealam semesta, dan sebumi, bahkan untuk seluruh planet" katanya berusaha memberiku pemahaman yang malah membuatku gagal paham.
Seperti itukah pandangan siswa kepada gurunya?

"Yaelah, itu muka santai, dong."

"Jadi?"

"Lo pakai nanya lagi, ya jelaslah kita bersuka cita dan bersuka ria hari ini" ujarnya begitu senang tak terkira.

Suasana hening seketika, derap langkah tegas itu memasuki kelas dengan tatapan datar.

Dia berdiri tepat di depanku.
Apalagi yang diinginkannya?
Tidak cukup puaskah melihat penderitaanku selama ini?

"Ikut gue, sekarang!" tegasnya tak terbantah.

Krik krik

Tangannya tiba-tiba menarik paksa lenganku. Dengan sekali hentakan, tanganku terlepas. Dia kira aku ini masih sosok yang dulu? Heh.

"Ikut gue, tolong. Kali ini saja, Lan." Ada apa ini? Tiba-tiba memelas seperti itu. Minta sumbangan juga tidak mungkin, diakan orang berduit.

"Apa?" Kuberanikan diri menatapnya, meski sebenarnya sudah muak.

"Dengerin dulu, Lan. Aku mohon" kesambet apa orang ini?

"Eh, gue kira dia itu bisu, loh."

"Baru kali ini gue denger dia ngomong"

"Keajaiban dunia ini, mah."

"Pacarnya, kali."

"Hubungan berantem-berantem manja, mungkin"

"Pergi!" aku sudah tak tahan lagi berhadapan dengannya, ditambah bisik-bisik teman sekelas yang mengganggu. Aku akan bertekad untuk tidak lagi mengingat masa itu. Sungguh, aku lelah.

"Lani bilang pergi, ya pergi!, emosi gue. Datang-datang main narik tangan anak orang, maksa lagi. Pergi lo!" Mungkin Angel sama eneknya.

Dia berbalik, tapi sebelum itu menepuk lembut kepalaku yang tertutupi kain suci.

Aku melihat sekeliling, semua orang tampaknya mengalihkan pandangannya ke arah ku.

"Sudahlah, hentikan drama-drama di kelas ini, ini bukan acara Indosiar, yah. Cabutlah, cacing di perutku sudah meronta-ronta merana. Sabar, sayang. Aku akan mentraktir kalian" Inyong, namanya. Sambil menepuk-nepuk perutnya.  Bendahara kelas yang baru hari ini ku ketahui. Agak aneh memang, dimana biasanya ceweklah yang menjabat sebagai bendahara.

Beberapa dari mereka sudah ada yang mengeluarkan laptopnya untuk nonton korea-koreaan. Lainnya ada yang joget-joget lagu Nassar, seperti mati lampu. Ada juga yang jejerin kursi buat mimpi indah. Beragam dan itu lucu, menurutku.

Mumpung masih jam 9.20 baiknya aku ke mushollah saja, dhuha sekalian ngadem kayaknya enak.

"Ke Masjid, yuk!" ajakku pada Angel.

"Kita beda, loh." cengirnya yang baru saja buatku tersadar kalau kami tidak satu keyakinan.

"Eh, iya. Maaf, yah. Kalau gitu, aku duluan" Tak enak hati, buru-buru saja aku keluar.

"Eh, pelacur!" Tanganku tercekal di tangga jalan menuju mushollah terdekat.
Disini sepi, mungkin karena jarang yang mengunjungi mushollah dijam seperti ini.

"Lepas!"

"Lihat, Gengs. Hahaha. Masih perlu gue jelasin kehinaan lo? Kepala Sekolah nggak akan tau, nggak akan ada yang berani lapor!"

"Ini juga, pake bawa-bawa kain kusut, apaan coba? Mau sok alim, lo?" ujar Vania menarik mukenahku yang kini sudah tergeletak di bawah kakinya.

Tahan, tahan. Kata Ibu, membalas kejahatan orang lain tidak akan membuat ia jadi baik, sama halnya tidak akan mendapat keuntungan bagiku, yang ada aku tidak beda dengan mereka.

"Percuma banget sih lo nutupin rambut lo itu, paling juga sudah dibelai om-om kaya tuh."

"Sudah berapa kali aborsi, lo?"

"Wah, nutupin rambut karena kutuan, kan, lo?"

Hahahaha.

Tawa mereka seakan jarum bagiku, tapi aku harus kuat.

"Tolong, aku sama sekali tidak tahu apa salahku. Aku mau ke Mushollah, tolong."

"Lo pura-pura nggak tahu, apa gimana? Dasar kotor."

Plakk!

-----

Haihai gengs.
Assalamu alaikum, bagaimana? Sesuai harapan, tidak?
Ini aku ngetik sambil kuliah online, loh. Demi kamu, tercinta.
Eh, maksudnya demi kalian.
Masih ngawur, nggak?
Jan luap voment, yah, manis.

Semangat puasanya, bagi yang menjalankan.
Aylapyuu💙

Parangloe, 12 Mei 2020.
-Nur

R(Asa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang