RANAH

12 1 0
                                    

Di kelilingi lembah bukit barisan,di hutan belantara,di pedelaman hutan sumatera. Puluhan  kilo meter dari pusat kota hanya satu jalan akses masuk kesana,tanah kuning entah itu jalan atau sawah.

Laki-laki  memakai topi,baju dari kulit kayu buahnya buat cemilan yang dianyam tangan terampil oleh orang desanya.
Sebuah parang terselit di pinggang sebelah kanan,ini orang sumatera katanya.lambang dari ungkapan 'jika iya katakan iya jika tidak katakan tidak'.

Tertatih langkah,karena matahari yang sangat menantang,terhentak kaki kudanya didekat pemberhentian lalu mengikat tali kudanya ke pohon gaharu sedikit melihat keadaan kuda yang telah lama berjalan,menurunkan beban dari atas pundak kuda lalu memberi makan.

Laki-laki itu mulai membuka bekal asupan yang dibungkus rapi dari pelepah daun pinang,masakan istri memberi kekuatan menerjang lembah bukit barisan.
Dia tidak sendiri,ditemani anak sulungnya yang ingin menemai bapaknya ke pasar kota kecamatan.

Baru belasan tahun sudah berani,membawa tas kecil celana pendek,sendal tangkelek adalah sendal dari kayu. Beberapa saat setelah itu mencuci tangan dengan lahapnya mereka makan berdua dan beberapa orang-orang desa lain yang sepertinya.

Nyala cinta pada bismillah adalah yang utama,dimana pun kapanpun jika waktunya tiba harus sesegera mungkin,setelah itu melanjutkan pekerjaan tidak apa-apa.

Perlahan namum pasti satu persatu ditata kembali kedalam keranjang kain,pisang,pinang,buah-buahan,gambir riang gembira dalam keranjang karena akan melanjutkan perjalan.
Lalu meletakkan ke pundak kuda,yang sudah siap dan semangat kembali.didesaku namanya 'kudo baban' kuda beban,hanya untuk barang bukan penumpang kita hanya mengiringi kuda tersebut.
Jalan yang terjal,berliku liku sesekali kuda menghentakan kakinya entah karena bosan atau entah kerena lapar.

Walaupun di lembah bukit barisan
Walaupun hanya satu akses jalan
Walaupun anak pedalaman
Kami yang di dalam adalah orang-orang intelektual yang telah menapaki negeri seberang lautan.

Titik terakhir sebelum sampai ke pasar kota kecamatan,harus melewati sungai yang dalam dan deras maklum tidak ada jembatan penyebrangan.
Satu per satu keranjang kain di lepaskan dari pundak kuda,lalu di pindahkan ke atas sampan tanpa mesin bersamaan dengan pemilik keranjang dan beberapa orang yang hanya ingin ke pasar untuk menyebrang.

Sementara kuda dibiarkan berenang sampai ke tepian.

Hari sudah hampir sore,matahari sudah mulai lelah menyinari siang,bulan telah siap menanti malam. Begitu juga dengan bapak,anak dan orang-orang desa,badan sudah gatal-gatal kaki sudah berubah warna oleh lumpur.

Mandi,makan,istirahat dan sedikit berbincang-bincang dengan teman-teman tentang perjalan tadi siang,karena pasar buka hari esok bayangkan berapa lama kami di jalan.

PERJALAN ADALAH RUMAH BARU Where stories live. Discover now