2. Kita Menyebutnya Teman

928 181 105
                                    

Hari MPLS terakhir diisi sama kegiatan perpisahan bareng mentor, pengumuman gugus terbaik, habis itu biasa ... foto bareng gugus.

Ketua gugus gue aktif banget, namanya Ten.  Tadi bilangnya dia itu mau masuk jurusan IPS. Tapi sekarang berubah haluan jadi Bahasa.

Meski pun agak labil, tapi jiwa kepemimpinannya buat kita gugus 12, emang terasa banget, dia bukan seorang yang bossy tapi leader.

Sampai suaranya serak, malah enggak kedengaran. Dia totalitas banget waktu yel-yel tadi. Jadi, kita, sebagai anggota juga kebakar semangatnya.

Berkat kerja sama gugus gue yang baik, alhamdulillah gugus gue dapat banyak hadiah dari nominasi-nominasi yang ada.

Gugus terbaik, ini sih yang paling banyak hadiahnya. Baru perkiraan soalnya kotaknya lumayan gede.

Gugus terkocak juga dapet, yel-yel terbaik, terus yang terakhir mentor ter-perhatian yang dimenangin sama Teh Rani, salah satu mentor gugus gue.

Seusai rencana, kita semua kumpul dulu di kelas buat bagi-bagi hadiah, foto bareng, permintaan maaf dari kakak mentor, terus sampai ke acara nangis-nangisan karena udah merasa dekat walau cuma lima hari bersama di gugus yang sama.

Yang paling ditunggu-tunggu, sekarang, acara baca surat secara random. Untungnya dibacainnya sama Teh Rani. Gue sih enggak nulis yang berbau romansa ke temen cowok di gugus, tapi gue nulis ucapan terimakasih yang cukup puitis buat Teh Rani sama Teh Arin, mentor gue.

Sementara teman sebangku gue selama di gugus, Dewi. Dia udah ribut sendiri dari tadi, berkali-kali minta buat ditenangin ke gue.

Dewi naksir Ten, jadi dia nulis surat.

"Gimana kalau Ten tau, Shil."

Gue menatap Dewi lembut, "De, kan tujuannya biar dia tau, siapa tau abis ini lo punya kesempatan deket sama dia, kan?"

"Tapi Shil, kayaknya nggak bakalan deh, soalnya Ten itu waktu SMP juga termasuk anak hits. Gue mah siswi biasa aja. Mana mungkin." ada raut kecewa di wajahnya Dewi.

Gue berbisik lagi, "Tenang dulu De, lagian kalau kekhawatiran lo itu surat lo bakalan dibaca sama mentor,  kayaknya harus disingkirin dulu deh rasa khawatir itu, kan nggak semua surat bakalan dibaca, De."

Dewi senyum tipis, kayaknya suasana hati dia mulai tenang, enggak sekalut tadi. "Makasih Shil, lo emang paling bisa buat orang jadi tenang."

Gue cuma senyum buat nanggapin omongan Dewi, karena mentor udah mulai mengambil alih acara, buat ngebacain surat secara random.

"Ya Allah, semoga surat aku nggak dibacain sama teteh mentor." lirih Dewi.

Gue cuma bisa mengamini dalam diam, kayaknya Dewi menyesali keputusannya udah nulis surat romansa buat seseorang di gugus ini.

Apalagi, Dewi naksirnya sama Ten,  ketua gugus.

Setahu gue yang naksir sama Ten di gugus ini ada dua orang, Dewi sama Ratu. Itu pun kalau enggak salah. Soalnya Ratu masih malu-malu buat ngaku. Tapi keliatan dari gerak-geriknya.

"Oke, sekarang ya teteh bacain." kata Teh Arin sambil senyum menggoda ke arah kita semua.

Semua siswa pada senang negedengernya, tapi sebagian siswi ada yang meringis, pasti mereka yang nulis surat romansa.

Gue salut banget sama mereka yang punya keberanian buat mengakui perasaannya, walau lewat surat.

Gue juga sebenernya pasti bakalan nulis sih kalau ada orang yang disuka, tapi jujur, di gugus ini enggak ada.

Distraksi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang