IZ - 17 - UKS

71 13 12
                                    

Ray berjalan di koridor sekolah. Bibirnya terus bergerak merapal doa yang ia coba hafalkan. Tangannya menggenggam buku semenjak turun dari motor. Ia larut dalam konsentrasinya hingga tak sadar jadi pusat perhatian hampir seisi sekolah.

Ray menaiki tangga menuju kelas. Aktivitasnya tak jua berubah. Sesekali ia mengelus rambut, terpejam, lalu kembali membuka buku untuk mengecek hafalan. Saking konsentrasinya, Ray tak sadar jika sudah menabrak seseorang. Meski begitu, ia tetap melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Ray terpaksa menoleh begitu punggungnya dilempar sesuatu. Ia melihat ada sepatu yang tergeletak tak jauh darinya.

"Aneh," ucap Ray sebelum kembali berjalan.

"Lu yang aneh!" Seseorang berteriak, melempar sepatunya hingga hampir mengenai kepala Ray.

Ray sontak berbalik, menemukan Rin duduk beralas lantai. "Ngapain lu rebahan di sana?"

"Ngapain lu bilang?" Rin melotot dengan bibir yang siap memuntahkan omelan. "Gue jatuh karena lu nabrak gue!"

"Kapan?" Ray menyisir rambutnya. Ia mendekat, lalu mengulurkan tangannya. "Ya udah sini gue bantuin."

"Gak usah!" Rin menepis tangan Ray. Ia berusaha berdiri tapi kesusahan. Bibirnya mengaduh setiap kali tubuhnya digerakkan.

"Udah sini gue bantuin." Ray menarik tangan Rin setengah paksa. Mau tak mau, ia mengatar gadis itu ke UKS.

Rin cepat menepuk tangan dan bajunya sesudah Ray membantunya. Ia masuk ke ruang UKS dan meminta petugas sana untuk mengobati luka lecet di tangan. Gadis itu duduk di bibir kasur, cemberut.

"Gue minta maaf." Ray ikut duduk di samping Rin.

Rin memutar mata malas. Kalau saja badannya tak sakit, ia pasti langsung pergi dari UKS, atau malah mendorong Ray agar terjatuh. "Kenapa sih lu jalan gak liat-liat?"

"Gue lagi hafalin doa," ujar Ray sembari menujukkan bukunya. "Nih."

"Dasar stres!" Rin menggeser duduknya.

"Hah?" Alis Ray menukik sesaat. "Lu kali yang stres."

Rin memutar mata malas.

"Biar gue aja." Ray merebut teh manis yang dibawa oleh siswa yang bertugas di UKS. Siswi itu malu-malu mengiyakan setelah Ray melempar senyum. "Lu minum dulu," pinta Ray.

"Gue bisa sendiri." Tangan Rin hendak menggapai minuman. Namun dengan cepat Ray menjauhkan teh manis tadi.

"Minum," pinta Ray setengah memaksa.

"Euh!" Rin tak punya pilihan lain. Ia meminum teh manis tadi melalui sedotan yang Ray beri. Beberapa kali ia melirik Ray saat meneguk minuman. Entah kenapa Rin merasa kalau senyuman Ray lebih manis dibandingkan minuman yang ia teguk. Ia memang ganteng seperti yang dikatakan orang-orang. Meski cowok ini sangat menyebalkan, tapi di sisi lain Ray adalah pribadi bertanggung jawab.

"Gak usah gitu juga ngeliatin guenya." Ray menyimpan kembali gelas yang sudah kosong. Ia lantas mengambil kotak P3K yang terletak di atas nakas. Cowok itu menyimpan bukunya ke dalam tas, kemudian menyibukkan diri mengobati Rin.

Rin hanya mengerucutkan bibirnya, membiarkan Ray tanpa bicara. Ia merasa panas sekarang. Padahal ruangan sudah dibekali AC. Kadang ia sulit untuk mengalihkan pandangannya agar tak mengamati Ray. Sepertinya Rin jadi geger otak karena terjatuh tadi. Pikirannya jadi kemana-mana.

"Selesai." Ray meraih tasnya, turun dari kasur. "Gue ke kelas dulu."

Rin tak menggubris, berusaha untuk turun.

Jejak Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang