IZ - 19 - Koridor

52 8 6
                                    

Ray dan Rin tengah duduk sembari memakan sosis yang baru saja mereka beli. Lapar sekali karena mereka pergi sebelum makan malam. Air mancur masih meliuk-liuk diterpa aneka warna cahaya. Taman ini semakin ramai seiring malam menggurita.

"Ini," tawar Ray sembari menyodorkan minuman pada Rin.

"Makasih," balas Rin.

Suasananya jadi sangat canggung. Setiap kali mereka bertatapan, pasti keduanya akan mengalihkan pandangan, kemudian diam. Benar-benar aneh memang. Biasanya mereka akan beradu mulut.

Mengusir bosan, Ray bersenandung sembari menatap air mancur. Bibir merah mudanya bergerak, mengucap lirik. Tanpa disadarinya Rin memperhatikan tanpa berkedip. Parasnya mencipta kagum. Pipinya melukis rona merah.

"Kenapa?" tanya Ray, sedikit terkekeh.

Rin cepat menggeleng, menghabiskan sosisnya dalam sekali suapan. Akibatnya ia tersedak. Ray cepat menyodorkan minuman, membantu menepuk-nepuk punggung Rin.

"Makanya kalau makan jangan lupa bismillah," ujar Ray.

"Emang lu pakai bismillah pas makan tadi?" Rin balik bertanya. Sedikit kesal karena dinasehatgi.

"Baru aja baca," balas Ray.

Rin memutar bola mata. Kesal tapi bukan kesal seperti biasa. Pokoknya ia kesal tapi bukan betulan. Ih, bagaiamana ya menjelaskannya?

"Suara gue emang bagus." Ray bangga. "Jadi gak usah kaget gitu."

Rin kembali mengerlingkan mata. Ada senyum terperangkap di sela-sela bibir. Meski sangat berat, Rin harus akui kalau perkataan Ray benar.

"Ini udah malam. Kita pulang," ajak Ray sembari mengulurkan tangan.

Rin mengamati tangan yang menggantung di udara itu beberapa detik. Rasanya tak perlu Ray melakukan itu. Toh, ia bisa berdiri sendiri. Tapi, entah kenapa tangannya malah menerima uluran itu. Ia jadi bodoh sendiri. Duh!

Ray menggenggam tangan Rin, tak melepaskannya meski Rin beberapa kali berusaha melepas. Ray hanya terkekeh geli saat gadis di sampingnya memilih tertunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Lepas!" pinta Rin setengah berbisik.

Aksi keduanya jadi tontonan pengunjung yang kebanyakan anak muda. Iri, dengki, hasud khas netizen bisa tergambar dalam pandangan mereka. Ray tak peduli. Tapi berbeda dengan Rin. Gadis itu risih karena jadi pusat perhatian orang-orang.

Keduanya berhenti di tempat motor terparkir.

"Mulai sekarang, gue akan jaga lu," ucap Ray sembari memakaikan helm di kepala Rin. Gadis di depannya masih tercenung mendengar kalimatnya barusan.

"Kenapa lu lakuin ini?" Rin bertanya. Kedua tangannya menggenggam tali helm yang sedang coba Ray kaitkan.

"Nyokap lu yang minta gue buat jaga lu." Ray selesai memasang helm Rin. Kedua tangannya kini berada di bahu Rin, menyelami dalam mata gadis itu. "Jadi kalau ada orang yang nyakitin lu, lu harus buru-buru bilang sama gue."

"Apaan sih gak jelas." Rin cemberut.

"Sebenarnya lu lebih cantik kalau lagi senyum." Ray tersenyum. "Kalau cemberut gini jatuhnya lucu. Kalau judes malah bikin penasaran."

"Anterin gue pulang!" Rasanya wajah Rin mau meledak. Si Ray ini malah jadi aneh atau gila.

"Siap, Rina Aluna." Ray menghidupkan mesin motornya, kemudian menepuk-nepuk jok belakang. "Ayo!"

Jejak Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang