Hutan Kabut

27 3 0
                                    

#New_Story

Setelah lima tahun tidak menjejakkan kaki di kampung halaman, akhirnya hari ini aku akan segera menghirup udara segar pedesaan.

Bekerja di kota dengan jatah cuti yang sedikit, serta mengingat ongkos pulang dan oleh-oleh yang tak sedikit, membuatku terus menunda kepulangan.

Taxi yang kutumpangi akan sampai di rumah ibu sekitar dua jam lagi, masih ada waktu untuk memejamkan mata sebentar. Mengingat semalam tak dapat segera tidur karena sibuk berkemas dan menyiapkan oleh-oleh.

Masih dengan mata terpejam, kudengar suara gaduh di depan sana. Taxi yang kutumpangi pun mendadak berhenti.

"Sudah masuk desa, Pak? Kenapa berhenti?" tanyaku memastikan.

"Iya, Mbak. Itu di depan ada warga ramai di tengah jalan," sahutnya dengan raut muka bingung.

"Tunggu sebentar ya, Pak. Biar saya lihat ke sana," ucapku seraya membuka pintu.

Semakin mendekati kerumunan itu, tampak semakin jelas warga tengah main hakim sendiri dengan memukuli seorang pemuda yang meringkuk menahan pukulan bertubi-tubi.

"Astagfirullah! Sudah bapak-bapak! Tolong berhenti, jangan main hakim sendiri! seruku kencang membuat kerumunan itu sedikit melonggar.

"Siapa kamu! Jangan ikut campur urusan kami!" teriak salah satu bapak-bapak berbadan tambun dan berkumis tebal, sorot matanya tajam menyiratkan amarah.

"Pak, sebaiknya dibawa ke pihak yang berwenang. Tolong jangan main hakim sendiri, kalau pemuda ini kenapa-kenapa, kalian juga yang repot," ucapku tenang.

Mereka tampak berpikir keras, setelah jeda beberapa lama, akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.

"Baiklah, sepertinya ucapan Mbak ini ada benarnya. Ayo kita bawa dia ke kantor polisi!"

Setelah berdiskusi cukup lama, akhirnya aku sepakat untuk membantu para warga dengan memberi tumpangan menuju kantor polisi terdekat.

Pemuda itu berusaha berdiri dengan sedikit diseret oleh bapak berkumis tebal itu, aku pun segera meminta pak supir taxi untuk putar balik menuju jalan besar.

Keduanya duduk di jok belakang, sedangkan aku pindah duduk di depan, tepat di samping pak supir. Hening, selama perjalanan pemuda itu terus menunduk. Kutaksir dia seumuran atau lebih tua dariku beberapa tahun, melihat perawakannya yang kekar dan masih terlihat muda.

Beberapa saat kemudian kami tiba di kantor polisi, tetapi saat bapak itu membuka pintu untuk pemuda tadi, kejadian mengejutkan terjadi. Pemuda dengan tangan terikat itu menendang bapak itu hingga terjengkang, aku pun ikut terkejut melihat pemuda itu berhasil melarikan diri.

Saat hendak mengejarnya, tiba-tiba gawaiku berbunyi nyaring, segera kuangkat panggilan itu dan mengurungkan niat untuk membantu mengejar.

"Assalamualaikum, Nduk?" suara merdu ibu menyapa di seberang telepon.

"Waalaikumussalam. Ada apa, Buk?" tanyaku.

"Kok belum nyampe? Kamu gak kesasar kan?" tanya beliau sedikit bergurau.

Aku tersenyum, ibu masih tetap ceria seperti dulu meski bapak telah tiada. "Gak kok, Buk. Bentar lagi ini nyampe, nanti Gendis ceritain di rumah ya," sahutku ingin segera mengakhiri panggilan telepon. Tak sabar rasanya bertemu langsung dengan ibu.

Usai menelpon, aku pun segera putar balik dan mengantar bapak itu pulang ke rumahnya dengan memberikan sedikit ganti rugi karena gagal menangkap pemuda itu dan merasa tak enak sebab itu adalah ideku.

***

"Assalamualaikum! Ibuk! Gendis pulang!" seruku senang.

"Waalaikumussalam, ayo-ayo masuk. Ibuk udah masak makanan kesukaanmu, loh," sahut ibu gembira seraya memelukku.

Aku melangkah menuju meja makan, benar kata ibu, mataku langsung berbinar melihat sayur bening, sambal, tempe, tahu dan ayam goreng terhidang rapi di sana. Sederhana memang, tapi ini begitu lezat berkat sentuhan tangan renta ibu. Membuat perutku yang belum diisi sejak pagi pun berteriak.

"Pelan-pelan, Nduk makannya," ucap ibu terkekeh melihatku seperti orang kelaparan.

"Abisnya enak banget, Buk. Top markotop," jawabku mengacungkan dua jempol.

Ibu tertawa riang, sembari mengusap pucuk kepalaku lembut. Usai makan kami pun mengobrol melepas rindu, tak lupa kuceritakan kejadian tadi yang menghambat perjalananku. Anehnya, saat kuceritakan ciri-ciri pemuda itu, air muka ibu langsung berubah murung.

"Kenapa, Buk? Ibuk kenal?" tanyaku penasaran.

"Bukan cuma kenal lagi, Nduk. Kamu ingat Arka? Dia anaknya almarhum Pak Seto sama Bu Dina, tetangga kita dulu, mereka sempat pindah saat kamu masih sekolah, tapi kembali lagi tahun lalu. Arka berubah semenjak orangtuanya meninggal, dulu dia anak yang baik, rajin ke masjid, tapi sekarang dia terlihat frustasi dan sebatang kara," ucap ibu seraya mengusap embun di netranya.

"Bang Arka yang pernah main ke sini pas aku SD itu, Buk? Dia udah beda banget, Gendis sampai pangling."

Ibu hanya mengangguk, sedangkan aku terkejut sekaligus terenyuh mendengar penuturan ibu, seingatku dulu Bang Arka adalah anak yang ceria dan ramah.

***

Hari berlalu dengan cepat, tak terasa sudah dua hari berada di desa. Hari ini aku berniat mengunjungi Ratih sahabatku saat masih SD dulu. Di tengah jalan, tiba-tiba ada seorang pemuda berlari kencang dan menabrakku.

Dia berusaha membantuku berdiri, tetapi detik selanjutnya banyak kerumunan warga berteriak-teriak. Pemuda itu, ternyata adalah Bang Arka, dia tiba-tiba menarik dan menyeretku lari bersamanya.

Napasku terasa sesak, kakiku lemas telah berlari sepanjang jalan. Kami berhenti di sebuah gudang tua bekas menyimpan padi yang sudah tak terpakai.

Bang Arka menatapku aneh, seketika aku merinding dibuatnya. Dia terus mendekat hingga jarak satu meter dariku kemudian berhenti, wajahnya tampak ragu.

"Maaf," ucapnya tiba-tiba.

"Apa?"

Aku yang tak mengerti maksudnya hanya bisa melongo, untuk apa dia minta maaf?

"Maaf membuatmu terlibat," sesalnya.

"Tapi kenapa Bang Arka sampai dikejar warga?" tanyaku penasaran.

"Aku mencuri seekor ayam, trus ketahuan, haha," ucapnya tertawa sumbang.

"Kenapa mencuri? Abang kan bisa kerja?" cercaku ingin tahu.

"Kamu gak akan ngerti," ucapnya membuatku bingung.

"Ayo pergi, Gendis," ucapnya mengulurkan tangan.

"Kemana?" tanyaku ragu.

"Ke tempat persembunyianku," jawabnya mantap.

"Hah?"

"Ayo ikut saja," sahutnya seraya menarikku memasuki hutan.

Next?

Riau, 12 Mei 2020

Kabut CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang