Seram

12 1 1
                                    

#Kabut_Cinta
#Part4

Terus menguap, membuatku menarik selimut dan meringkuk di peraduan. Menuju alam mimpi yang akan menjadi teman, melewati malam.

.

Rasanya baru sesaat saja terlelap, kini aku harus bangun karena azan shubuh sudah berkumandang.

Tak lama, terdengar suara gemericik air dari belakang. Itu pasti Ibu, beliau selalu bangun tepat waktu.

Gegas aku bangkit dan keluar kamar, menyusul Ibu yang sudah selesai berwudhu dan bersiap salat.

"Sudah bangun, Ndis?"

"Iya, Buk."

Usai salat, aku membantu Ibu menyiangi sayuran. Merajang bumbu dan menyalakan kompor minyak.

"Buk, mau bikin oseng kangkung sama goreng tempe 'kan?" tanyaku memastikan.

"Iya, Nduk."

"Biar Gendis aja yang masak, Buk. Ibu duduk aja di depan," pintaku dengan senyum meyakinkan.

Ibuk menatapku haru kemudian mengangguk. Aku tersenyum lebih lebar, menatap punggungnya yang mulai menghilang.

Kapan lagi bisa berbakti sama Ibu 'kan? Aku ingin melayani wanita yang sudah melahirkan dan merawatku selama ini. Pokoknya harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin selagi Ibu masih ada. Karena ... aku tak ingin menyesal.

Setengah jam kemudian, akhirnya semua sudah selesai. Termasuk mencuci perkakas memasak. Segera kuhidangkan di meja kayu yang sudah termakan usia tapi penuh kenangan itu. Tak lupa segelas susu hangat menemani.

"Buk, ayo sarapan. Udah siap nih."

Ibu muncul dari depan, senyumnya mengembang. Kupersilahkan ratuku untuk duduk.

Kuambilkan nasi dan juga sayur untuk beliau, perlahan Ibu menyuap sesendok ke dalam mulutnya. Aku menatap penuh harap, semoga Ibu menyukainya.

"Enak, Ndis. Kamu pinter masak ya, Nduk," pujinya seraya tersenyum.

"Iya dong, kan bakatnya nurun dari Ibuk," sahutku bangga karena terlahir dari Ibu yang sangat menyayangiku.

Ibu terkekeh, menatapku sayang. Suasana hatinya tampak bagus. Sepertinya aku sukses menyenangkan hati Ibu. Aku tersenyum simpul.

Waktu terus bergulir, pukul delapan tinggal lima belas menit lagi. Sedari tadi aku resah, memikirkan alasan apa yang harus kuberikan pada Ibu.

Bagaimana ini? Bang Arka pasti udah nungguin. Aku harus bilang apa sama Ibu?

Saat ini, beliau tengah asik merajut, perlahan kudekati Ibu dan memijat bahunya. Ibu tersenyum menyadari kehadiranku.

"Buk, Gendis boleh jalan-jalan ndak?" tanyaku pelan.

"Boleh, kenapa tidak?" ucap Ibu balik bertanya.

Aku terkekeh, iya juga ya? Kenapa tidak?

"Hehe, kalau gitu, Gendis jalan ya, Buk."

Ibu mengangguk, hanya berpesan agar aku tak pulang selarut kemarin. Pukul lima sudah harus berada di rumah. Kuiyakan dan gegas menuju ujung desa.

Sesampainya di mulut hutan, sinar matahari mulai naik. Kulihat Bang Arka tidak ada di sana. Apa dia belum sampai?

Kulangkahkan kaki, duduk di bawah pohon, menghalau panas dengan berteduh di sana. Tiba-tiba sebuah kulit pisang jatuh dari langit, mengenai kakiku.

Aku terlonjak dan mendongak ke atas, takut-takut jangan sampai bertemu dengan monyet hutan yang cukup ganas.

Melihat ke atas, mataku membulat sempurna. Kesal dan merasa dipermainkan, ternyata Bang Arka sengaja melempariku dengan kulit pisang yang ia makan.

Kabut CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang