Bab 7

13 0 0
                                    

#Kabut_Cinta
#Part7

Pagi ini aku membantu Ibu mencabut ubi kayu yang tumbuh subur di samping rumah. Katanya Ibu lagi pengen ubi goreng. Setelah mencabut beberapa pohon.

Aku mulai mengupas kulitnya, mencuci sampai bersih. Kemudian memotongnya sedang-sedang saja. Sedangkan Ibu sudah menyiapkan bumbu dan penggorengan.

Selagi Ibu menggoreng, aku mulai menjerang air dan membuat teh melati kesukaan Ibu. Cuaca hari ini sedang gerimis, memang sangat cocok makan dan minum yang hangat-hangat.

Usai berkutat di dapur, kami istirahat di beranda depan. Duduk di bale-bale sembari menikmati ubi goreng dan teh hangat. Sungguh lezat, nikmat mana lagi yang kau dustakan? Eh.

Ibu asyik membaca buku yang aku bawa dari kota, novel percintaan, komedi, islami maupun horor. Ibu memang suka membaca, dan itu terbawa sampai padaku. Apalagi novel berjudul "Kekasih Bayaran" Ibu langsung tertarik dan kini buku itu berakhir di pangkuannya.

Tetapi sekarang aku lebih memilih berbalas pesan dengan Bang Arka, subuh tadi lelaki itu membatalkan janji bertemu hari ini.

Selain cuaca yang tak menentu, katanya dia sedang memperbaiki dipannya yang patah semalam. Lucu, aku terkekeh tiap membaca deretan pesannya. 

[Bang, di sana dingin gak?]

[Dingin, udah kayak di kutub.]

Lagi, tanpa sadar aku tertawa yang langsung mendapat perhatian dari Ibu. Beliau menatapku heran.

"Smsan sama siapa, Ndis?" tanyanya penasaran.

"Sa-sama Ratih, Buk," jawabku asal.

Ibu hanya manggut-manggut kemudian melanjutkan membaca, sesekali tangannya lincah mencomot ubi goreng di sampingnya.

Aku menghela napas, takut ketahuan Ibu. Sebisa mungkin kukondisikan agar tak cekikikan sendiri lagi. Udah kayak orang aneh aja kan, masa ketawa sama hp.

[Banjir gak, Bang?] Send.

[Banjir, tapi gak tinggi. Cuma semata kaki, di sana gimana?]

[Di sini enggak banjir, aman kok. Abang udah sarapan?]

[Udah.]

Kuputuskan untuk mengakhiri berbalas pesan, hari merangkak siang. Tetapi belum ada tanda-tanda gerimis akan reda.

Saat aku memandang jalanan, tampak segerombolan bapak-bapak tengah menyeret seseorang di kejauhan.

Suara mereka bersahut-sahutan bersamaan gerimis yang menderas. Walau hujan, tak mengurungkan niat mereka untuk mengarak orang itu.

Firasatku langsung tak enak, apalagi setelah mendengar salah satu seruan bapak-bapak yang mengatakan maling ayam. Entah kenapa aku langsung teringat Bang Arka.

Aku bangkit berdiri dan berlari menembus hujan, membuat Ibu terpekik kaget dan heran.

"Ndis! Mau ke mana hujan-hujan kayak gitu!" seru Ibu dari teras yang tak kuhiraukan.

Dalam pikiran saat ini hanyalah ketakutan, jangan sampai pemuda yang diarak itu adalah Bang Arka.

Padahal kami baru saja berbalas pesan, semoga saja bukan. Harapku dalam hati sembari berlari menyusul arakan itu.

Tak peduli dingin dan baju yang kini basah kuyup. Sudah semakin dekat, tetapi pandangan tetap tak jelas. Kabur karena hujan yang semakin deras.

Tinggal satu meter lagi, arakan itu tak mau berhenti. Mereka pasti akan membawanya ke rumah pak RT.

"Tunggu!" seruku kencang berusaha mengalahkan desau angin dan derasnya hujan.

Mereka berhenti, dan kini aku berhasil menyusul. Sialnya, kini semua mata memandangku heran. Malu.

Aku nyengir kuda, seraya menerobos kerumunan. Ingin segera melihat siapa yang diarak.

Deg!

Perasaan ini semakin tak karuan, malu sekali! Ternyata bukan Bang Arka. Lega, tapi kini malu yang bergantian mendera.

"Maaf, bapak-bapak, saya sudah mengganggu," lirihku seraya ngeloyor pergi. Saking malunya aku cuma bisa berjalan merunduk.

Duh, Gendis. Malu-maluin banget sih, harusnya aku pakai logika kan? Bang Arka lagi di gua! Batinku merutuki kecerobohanku.

Bruk!

"Aw."

Kepalaku sakit sekali, gara-gara menunduk aku tak melihat siapa yang di depanku. Orang ini keras sekali macam batu. Kepalaku sampai sakit rasanya.

"Maaf, saya gak sengaja," cicitku seraya mendongak.

Kini mataku membulat sempurna, ternyata orang yang kutabrak adalah juragan Prapto. Lelaki paruh baya itu menatapku tanpa ekspresi. Pandangannya tajam seolah bisa menembus jantung. Mengerikan.

Aku mundur beberapa langkah kemudian segera pamit pergi. Bisa-bisanya hari ini apes ketemu orang itu, sangat menakutkan.

Sepanjang pulang, aku berpikir. Mungkinkah yang kehilangan ayam Juragan Prapto? Gara-gara kami ambil semalam? Trus siapa yang diarak tadi?

Aku merasa kasihan pada orang yang tak bersalah dan diarak itu seandainya benar juragan Prapto yang kehilangan ayam.

"Duh, dingin!"

Aku memutuskan segera berlari pulang, dari kejauhan kulihat Ibu berdiri di depan pintu sembari memegang handuk. Beliau tampak cemas karena ulahku.

"Maafin, Gendis udah bikin Ibu khawatir," lirihku seraya menerima handuk yang beliau ulurkan.

"Kamu sebenarnya ngejar apa ta, Ndis?" tanyanya heran.

"Itu, Buk. Ada orang diarak warga, katanya maling ayam. Gendis cuma penasaran siapa malingnya," ucapku apa adanya.

Ibu manggut-manggut, kemudian duduk dan melanjutkan membaca.

Aku segera berganti pakaian kering dan menyusul Ibu lagi di depan. Duduk di sebelah Ibu.

"Bu, kalau maling kaya gitu. Ujungnya diapain sama warga, Buk?" tanyaku penasaran.

"Biasanya bakal dipukulin, Ndis. Trus disuruh kerja bakti atau ganti rugi."

"Gak dibawa ke kantor polisi kan, Buk?"

"Enggak, Ndis. Warga sebenarnya malas berurusan sama polisi. Belum lagi kalau sampai keluar biaya. Kamu tahu sendiri kan, petani macam kita ini cuma punya uang pas-pas an."

Aku menggangguk, benar juga. Di desa tak sama dengan di kota, semua memilih diselesaikan sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

Kalau di kota, maling ayam saja sudah pasti masuk jeruji besi. Fiuh, memikirkannya membuatku takut. Jangan sampai Bang Arka terlibat semacam itu lagi.

Meski aku tahu Bang Arka tak pernah mencuri, niatnya memang baik mengembalikan ayam warga. Tetapi terlalu berisiko.

Sepertinya aku harus mengingatkan Bang Arka untuk lebih berhati-hati ke depannya. Tiba-tiba Hpku bergetar, segera kulihat pesan yang datang.

[Ndis, ini aku Ratih. Besok bisa gak temenin aku ke ladang dekat hutan?]

Ratih? Tumben sekali anak itu mengajak ke ladang, apalagi yang dekat hutan. Bapaknya memang mengelola ladang milik orang di sana, tetapi setahuku Ratih sangat malas untuk ikut bekerja di ladang. Dia lebih suka memasak di rumah.

Namanya juga teman, langsung kuiyakan saja. Toh, kami sudah lama tak main bersama. Mungki saja dia menemukan sesuatu yang bagus di sana.

"Ndis, bantuin Ibu masak untuk makan siang yuk," ajak Ibu.

"Siap, Buk."

Aku pun segera membereskan piring kosong dan gelas teh kami, menuju ke belakang dan bersiap membantu Ibu memasak.

Setelah hujan reda nanti, aku berniat mengantar sebagian masakan untuk Bang Arka. Itung-itung obat kangen, hehe.

Sebelumnya sudah kukirim pesan untuk bertemu sore nanti di mulut hutan. Kangen lihat Bang Arka, dia sedang apa ya sekarang?

Komen selain next dong!!! 😞
Oiya, Novel Kekasih Bayaran tak lama lagi open Po. Yang mau waiting list bisa langsung inbok yah!

Riau, 31 Mei 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kabut CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang