Pukul satu dini hari, tak lama setelah aku masuk ke kamar. Terdengar suara TV dimatikan. Akhirnya Ibu beranjak tidur juga.
Aku menghela napas lega seraya duduk di tepian ranjang, menunggu Bang Arka datang. Tak lama jendelaku berderak, terdengar ketukan yang teramat pelan.
Sepertinya Bang Arka sudah sampai. Kubuka jendela pelan, menampakkan seulas senyum dari seorang pemuda tampan.
"Ayo keluar," ajaknya berbisik.
"Ke mana, Bang?" tanyaku lirih.
"Ayo ikut aja," pintanya membantuku melompati jendela.
Kututup jendela pelan dan segera mengekor di belakang Bang Arka. Dia memintaku berjalan merunduk.
Bang Arka menuntunku melewati semak-semak, bersembunyi dari cahaya lampu. Terus berjalan sampai-sampai aku merasa lelah. Entah sudah seberapa jauh.
Tak berapa lama, akhirnya dia berhenti juga. Kami berdiri di samping sebuah rumah megah. Tanpa pagar.
Bersembunyi dibalik pohon. Selalu menjadi andalan persembunyian, apalagi di tengah gelap. Aku dan Bang Arka mengintip apa yang dilakukan dua bapak-bapak di samping rumah megah itu.
"Cepetan! Keburu ada hansip lewat!" titah Bapak berkumis yang kuperkirakan adalah majikannya.
"Iya, Bos," jawab pembantunya yang membenarkan dugaanku.
Pembantu berbadan kecil itu terburu-buru mengeluarkan ayam hidup dari karung dan memindahkannya ke kandang. Kini, aku mengerti kenapa Bang Arka mengajakku ke mari.
"Dia juragan Prapto," bisik Bang Arka di telingaku.
"Jadi ini rumahnya?" tanyaku memastikan.
Bang Arka mengangguk. Kini bisa dipahami mengapa tuan tanah itu tak pernah kekurangan uang. Ternyata ia sering mengambil ternak milik warga.
Bang Arka mencoba mengambil gambar, tetapi sayang, karena pencahayaan yang minim membuat hasil fotonya buram dan gelap.
Bang Arka mengajakku pergi, kali ini kami memutari rumahnya. Mendekati kandang Ayam selepas kepergian dua bapak-bapak itu.
"Kita mau ngapain, Bang?"
"Kita balikin ayam warga yuk?" ajaknya ragu. Mungkin takut aku menolak.
"Oke," sahutku menyetujui.
Bang Arka mengendap-endap mendekati kandang, sedang aku menunggu di kegelapan.
Aksi ini adalah hal paling nekat dalam seumur hidupku. Namun, ada rasa seru juga karena mencoba hal baru. Apalagi bersama Bang Arka.
Hanya dalam waktu satu menit, lelaki itu sudah kembali dengan membekap paruh ayam itu. Hebat! Sepertinya Bang Arka sudah semakin ahli dari saat kami pertama bertemu.
Kami menyusuri jalan setapak yang gelap, menuju salah satu rumah warga yang ayamnya diambil oleh pembantu juragan Prapto.
"Emangnya Abang tau ini ayam siapa?" tanyaku ragu.
"Tau, soalnya Abang nengok tadi" ujar Bang Arka yakin.
Aku manggut-manggut, sesampainya di halaman belakang rumah itu, Bang Arka lekas mengembalikannya ke kandang.
Usai dari sana, kami kembali pulang ke rumahku dan duduk selonjor di bawah bingkai jendela.
Duduk sambil bercengkerama lirih, takut ketahuan Ibu yang tengah beristirahat.
"Ndis, ini buat kamu," lirihnya memberiku kotak kecil.
"Apa ini, Bang?" tanyaku tak mengerti.
"Buka aja," pintanya seraya mengalihkan pandang, sekilas aku melihat Bang Arka malu-malu sebelum kembali ke wajah datarnya.
Aku membuka kotak itu pelan, terkejut mendapati kalung berbentuk hati dengan warna biru mengkilat. Di dalamnya terukir sebuah huruf "G".
"Selamat ulang tahun, Ndis. Maaf ya, gak ada kuenya," ucapnya lirih.
"Ya ampun, makasih, Bang," ucapku terharu menatap pijar matanya yang tampak tulus.
Bang Arka memakaikan kalung itu di leherku, jantung dalam dada serasa ingin melompat keluar saking senangnya. Rasanya menyenangkan sekali mendapat perhatian dari lelaki yang diam-diam kita kagumi.
"Kok Abang inget, Gendis ulang tahun? Aku aja lupa loh, Bang. Ibu juga gak inget," lirihku bertanya.
"Ingetlah, dulu kan pernah rayain ulang tahun kamu sekali pas kecil? Waktu itu kamu nangis karena gak dapat hadiah kalung kayak punya barbie," ledeknya seraya tertawa pelan.
Tiba-tiba aku teringat kejadian memalukan semasa kecil, saat itu tangisku pecah gara-gara tak mendapat hadiah kalung seperti milik boneka barbie yang sedang populer saat itu.
Rasanya memalukan sekali, kututup wajah karena malu. Bagaimana bisa Bang Arka ingat? Aku saja malah udah lupa. Duh, si Abang, mah.
"Aihh, Abang nih, bikin aku malu inget kejadian itu."
Bang Arka terkekeh, lelaki ini ternyata sudah banyak berubah. Lebih sering tertawa akhir-akhir ini.
Tiba-tiba Bang Arka mengelus pucuk kepalaku lembut, seraya menatap bintang di langit.
"Mana mungkin Abang lupa, bocah kecil cerewet yang jadi tetanggaku dulu," ucapnya tersenyum jahil.
"Ish, Abang ini. Kan dulu masih kecil, aku aja gak inget secerwet itu," kilahku malu.
"Tuh kan ceriwis," sahutnya.
Blush!
Aku menutup mulut, hah, kebiasaan memang. Bicara panjang kali lebar tanpa kusadari, dan kini Bang Arka tertawa lebih puas.
Sejujurnya, ingatanku tentang Bang Arka tidaklah banyak. Bahkan, seberapa dekat kami dulu aku tak ingat. Hebatnya, lelaki disampingku ini punya ingatan yang tajam.
Berkatnya, kepingan memori masa lalu, sedikit demi sedikit dapat kuingat perlahan.
"Ndis, Abang pulang ya," ujarnya hendak pamit.
Aku terdiam menatap sosoknya yang mulai bangkit, ada rasa tidak rela. Tetapi tak mungkin juga dia kutahan di sini.
"Hati-hati, Bang," ucapku akhirnya.
Bang Arka mengangguk, tak lama kemudian menghilang di balik pekatnya malam. Aku segera masuk kembali lewat jendela dan menutupnya pelan.
"Fiuuh, untung aja Ibu gak bangun," lirihku lega seraya berbaring di ranjang.
Kugenggam erat kalung pemberian Bang Arka, ada rasa membucah dan gelenyar aneh yang merasuki dada.
Berawal dari kagum, sepertinya kini aku benar-benar menyukai Bang Arka. Aduh, gimana ini?
Kugelengkan kepala cepat, bagaimana kalau Bang Arka tak sejalan denganku? Sepertinya terlalu dini untuk menyebut ini suka. Duh, haluku kambuh nih.
Tiba-tiba saja aku terbayang wajah Bang Arka, sorot mata yang tajam, wajah yang tampan, hidung yang mancung. Benar-benar perfect.
Baru saja kupejamkan mata, aku dikejutkan dengan getar hp di saku celana. Gegas kubuka dan membaca pesannya.
[Mimpi indah ya, Gendis.]
Pesan dari Bang Arka, membuatku tersenyum-senyum sendiri. Guling-guling karena senang.
Aahh, sepertinya aku bakal beneran suka nih. Gawat!
Bang Arka, mimpi indah juga ya!
Next?
Riau, 29 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta
RomanceArka pemuda sebatang kara, memulai hidup baru sebagai pengembara. Berjumpa kembali dengan teman masa kecilnya.