Usai berenang, Bang Arka mengantarku pulang, lagi pula senja juga sudah menggelayut di kaki langit.
Melewati hutan yang menyeramkan itu lagi, jantungku terus berdetak tak karuan. Takut, kalau sampai berjumpa dengan harimau atau hewan buas lainnya.
Untungnya, aku sampai di mulut hutan dengan selamat. Kami berpisah di sana. Ada tatapan tak rela dari sorot mata elang itu.
Aku mengerti sorot itu, Bang Arka pasti kesepian selama ini. Kasihan, tapi tak mungkin tetap tinggal. Ibu pasti akan mencariku jika tak kunjung pulang.
"Bang, Gendis pulang dulu ya. Abang hati-hati ya di jalan," ucapku berpamitan.
"Eum, Ndis. Ini rahasia di antara kita ya!" seru Bang Arka tertahan.
"Siap, Bang. Tenang aja," jawabku meyakinkan.
"Ndis ...," lirihnya ragu.
"Kenapa, Bang?"
"Besok, kita bisa ketemu lagi gak?" tanyanya penuh harap.
"Insyaallah ya, Bang. Tapi, Gendis bingung gimana caranya ngehubungin Abang," ujarku terus terang.
"Besok pagi, jam delapan, aku jemput di sini ya?"
"Abang punya jam?" tanyaku ragu.
"Nih," ujarnya menunjuk pergelangan tangan.
Sebuah jam tangan usang tampak menghiasi pergelangan tangannya. Aku mengangguk mengiyakan.
Bang Arka mengulas senyum, tampak tampan dan memesona. Ia mulai memasuki hutan, sedang aku, takjub melihat senyum itu akhirnya terlukiskan. Hingga akhirnya kutatap punggungnya, menghilang di balik pekatnya kabut.
Aku melangkah pulang, menyusuri jalanan setapak sampai memasuki perkampungan. Beberapa kali kuanggukkan kepala menyapa warga yang kebetulan lewat.
Azan magrib mulai berkumandang, tepat bersamaan dengan langkah kakiku yang mulai memasuki pelataran.
"Assalamualaikum, Gendis pulang, Buk!" seruku memasuki rumah.
"Waalaikumsalam, kok pulangnya larut, Ndis? Kamu makan siang di sana?" tanya Ibu yang tengah bersiap menunaikan kewajiban.
"Hehe, iya, Buk. Soalnya lama ndak ketemu, makanya reunian lama di tempat Ratih," jawabku terpaksa berbohong.
Ibu mengangguk percaya, mana mungkin aku jujur soal Bang Arka? Aku sudah berjanji untuk merahasiakannya. Maafin Gendis, Buk.
"Ya sudah, cepat mandi terus salat magrib ya,"
"Siap, Buk."
Usai melaksanakan ibadah, aku makan malam bersama Ibu. Menu malam ini adalah lele goreng, sayur asam, dan sambal. Tampak lezat dan menggiurkan.
"Wah, enak banget, Buk. Maaf ya, Gendis gak bantuin masak tadi," sesalku.
"Gak papa, ayo makan! Lagi pula, Ibu seneng bisa masakin kamu."
"Makasih ya, Buk."
Selagi makan, tiba-tiba aku teringat Bang Arka. Dia makan apa ya sekarang? Pasti di sana gelap karena gak ada listrik.
Usai makan dan mencuci piring, aku segera menuju peraduan. Membaringkan tubuh yang terasa penat berjalan seharian.
Menatap langit kamar yang sudah tampak usang, mengistirahatkan hati dan juga pikiran. Bang Arka? Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan? Gendis penasaran.
Tanpa sadar aku terlelap, menuju alam mimpi yang panjang. Hingga sebuah ketukan ringan mengusik pendengaran.
Kulirik arloji di tangan, pukul satu dini hari. Mengerjapkan mata, menetralkan penglihatan. Lagi, suara ketukan itu terdengar. Suara itu berasal dari jendela kayu di sebelah ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kabut Cinta
RomanceArka pemuda sebatang kara, memulai hidup baru sebagai pengembara. Berjumpa kembali dengan teman masa kecilnya.