Kekasih Idaman | Bab 24

282 46 5
                                    

Prilly

Keluargaku dan keluarga Mba Indira mempersiapkan pernikahan dalam kurun waktu kurang dari empat puluh hari semenjak almarhum Pak Wisnu berpulang.

Tepat hari ini, aku sudah didandani ala bridesmaid mengenakan kebaya modern warna nude yang cocok dengan kulitku, juga rambut setengah disanggul dan setengah lagi dibiarkan tergerai dengan keriting gantung.

Acara diadakan di gedung Harmoni dengan nuansa kekeluargaan beradat jawa. Sesuai dengan adat yang kedua belah keluarga pegang. Aku belum lihat Mba Indira, aku masih sibuk mengomel ke Mas Ibnu yang lupa naruh jepitanku semalam.

"Mas, dimana jepit rambutnya?" decakku, pada Mas Ibnu.

"Dilaci, ambil. Itu punya Indira."

Aku melangkah sesuai intruksi Mas Ibnu, dan menemukan jepit rambut itu didalam laci. Cantik. Sangat menawan dan elegan, seperti yang punya.

Aku jadi ingat, beberapa hari yang lalu aku sempat menyembangi kamar Mba Indira. Tak sengaja aku melihatnya tersedu diatas sajadah sambil mengangkat tangan. Berdoa pada yang Kuasa dalam diam. Mba Indira tahu, bahwa Allah mendengar apa yang nggak kita ucapakan. Bahwa Allah mengerti apa yang nggak kita jelaskan. Dan bahwa Allah paham apa yang menjadi kegelisahan kita hambanya yang tidak ada kata sempurna.

Malam itu setelah beberapa lama mengintip dari celah pintu, akhirnya Mba Indira tahu aku ada disana. Dia memintaku masuk, dan aku mematuhinya. Melangkah mendekat setelah menutup pintu rapat tanpa menguncinya.

Mba Indira duduk dipinggir rajang, masih mengenakan mukena putih polos sambil melipat sajadah. Aku duduk disebelahnya, disambut senyum hangat nan ramah dari perempuan yang bakal jadi iparku itu. Masih ada beberapa lelehan air mata dipelupuk matanya, aku ingin menyeka tapi nggak sampai hati kalau harus menyentuh wajah anggun Mba Indira berbalut mukena ini. Jadi aku biarkan begitu saja. Biarkan dia mengering dan menjadi saksi bahwa tadi Mba Indira, calon iparku, telah menangis tersedu demi mendapat Ridho Allah Yang Maha Agung.

"Mba," kataku, Mba Indira menoleh masih sambil tersenyum. "Mas Ibnu serius sama Mba." sambungku sejujurnya.

Bukankah, nggak ada yang lebih mengenal seseorang selain keluarga dekatnya. Nggak ada yang lebih memahami seseorang selain keluarganya pula. Aku bersaksi demi Tuhanku yang Maha Pemegang janji, bahwa Mas Ibnu memang mencintai Mba Indira sebagaimana dia mencintaiku. Aku nggak akan meragukan kesediaan Masku itu dalam menjalani perannya sebagai seorang suami dan Ayah kelak. Walau selama aku hidup berdampingan dengan Mas Ibnu sering bertengkar, tapi Masku itu nggak pernah membuatku sakit hati. Malah, dengan kesigapannya dia bisa kapan saja ku andalkan.

Mba Indira mengangguk, "Mba, tahu. Masmu itu orang baik."

"Mba nggak akan nyesel milih Masku jadi pendamping Mba." balasku, lebih meyakinkan. Karena menurutku sebuah dorongan mampu menguatkan mental seseorang. Dukungan yang positif bisa membawa dampak serupa pada fase dimana seseorang sedang dilanda kebimbangan. Mba Indira dan Mas Ibnu memang sudah menjalin hubungan lama. Lama sekali. Hanya saja aku tahu keraguan Mba Indira ketika menerima pinangan Mas Ibnu yang tanpa persiapan itu.

Alasan mereka bersatu mungkin memang karena saling mencintai. Tapi pelantara almarhum Pak wisnu yang berpesan agar mereka segera menikahlah yang membuat keduanya berada dipelaminan secepat ini.

Mba Indira memegang tanganku, menggenggamnya erat sampai serat mukena yang dia kenakan terasa sangat nyata dikulitku.

"Mba udah lama sama Mas Ibnu. Mba emang sempat ragu, karena.. Ya.. Kamu tahu, Papah baru aja pergi dan Mba sulit menerima kalau harus nikah secepat ini." aku dengar suaranya bergetar ketika mengatakan soal almarhum Pak Wisnu. "Tapi, karena ini untuk kebaikan. Karena Papah juga sudah menyiapkan semua ini dari jauh hari, Mba jadi semakin yakin kalau nggak ada alasan lagi buat Mba menunda hubungan Mba sama Masmu kejenjang yang lebih serius." aku lega mendengarnya.

Tiga Sudut Pandang : Kekasih IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang