Prilly
Malamnya aku kepikiran buat menodong Mas Ibnu dengan beberapa pertanyaan yang sejak kepulanganku dari rumah Mba Indira menari-nari nggak sopan dalam benakku. Aku masuk kekamar Mas Ibnu tanpa mengetuk pintunya terlebih dulu. Seperti yang sering Mas Ibnu lakukan kalau berkunjung ke kamarku. Kami impas, kurasa begitu.
Setelah berada didalam, sosok Mas Ibnu kutemui sedang berkutat didepan laptop dan beberapa buku bercecer terbuka diatas kasurnya. Aku meliharnya heran, padahal Ayah sudah memberikan meja belajar yang luasnya dua kali dari punyaku untuk Mas Ibnu. Tapi Masku ini senang sekali nulis sambil tengkurap, atau duduk menunduk sampai-sampai perutnya mengenai jempol kaki.
Mas Ibnu melirikku sekilas, seperti dia sudah mengetahui kehadiranku didekatnya yang saat ini sedang duduk di bibir ranjang sambil menampa satu buku tebal miliknya. Lalu Mas Ibnu akan fokus pada laptopnya lagi.
"Nanti aja kalau mau pinjem laptop. Mas belum beres ngerjain tugasnya." kata Mas Ibnu, padahal maksudku mendatanginya bukan untuk itu. Tapi kalau dikasih ya aku terima juga.
"Bukan mau minjem laptop, Mas." jawabku, Mas Ibnu ngangguk. "Tapi mau nanya." kali ini Masku menatapku serius karena suaraku tadipun terdengar demikian.
"Nanya apa?" kentara sekali kalau Mas Ibnu sangat penasaran.
Nggak mau menunggu lama, aku langsung pada intinya. "Soal... Ali." cicitku tertahan.
Mas Ibnu langsung ngerti. Dia membenarkan posisi duduknya sampai berdampingan denganku. Rela meninggalkan tugasnya yang banyak hanya untuk menjawab rasa penasaranku yang mungkin nggak penting juga baginya namun Mas Ibnu tau ini penting bagiku.
"Mas juga baru tau kalau Ali itu adiknya Indira. Waktu hari minggu Mas jemput dia, Mas ketemu Ali lagi pake sepatu diteras. Indira kenalin Mas ke Ali, Mas bilang emang pernah ketemu Ali tapi nggak sempat kenalan apalagi tanya-tanya."
"Terus? Kok bisa selama bertahun-tahun Mas nggak pernah ketemu Ali. Nggak pernah kenalan juga sama adiknya Mba Indira."
Jujur aku merasa keki karena bisa-bisanya Mas Ibnu nggak kenal adiknya Mba Indira, padahal mereka pacaran sudah sejak SMP. Sekarang malah Mas Ibnu lagi menghadapi semester delapannya. Hitung berapa tahun mereka pacaran! Tapi sosok Ali saja Masku itu buta. Nggak tau apa-apa kalau saja hari itu Mas Ibnu nggak jemput Mba Indira dan kebetulan Ali ada disana.
"Ali jarang ada dirumah. Mas juga kan nggak sering-sering main ke rumah Indira. Kita banyak habisin waktu diluar. Kalau nggak ya dikampus itupun kalau lagi nggak ada kelas."
"Ya seenggaknya kan ada foto keluarga atau apa ke gitu yang bikin Mas ngeh kalau Ali anak temen Ayah yang bertamu kerumah malam itu adiknya Mba Indira. Pacar Mas sendiri."
Baru saja aku hendak meredakan rasa kekiku pada Mas Ibnu, tapi jawaban Mas Ibnu malah bikin kekesalanku naik tingkat jadi jengkel. Tanganku menggulung buku tebal Mas Ibnu, menjadikan sebagai penyalur emosiku saat ini.
"Nggak ada." Mas Ibnu menggeleng lemah. "Mas nggak lihat ada foto keluarga. Cuma beberapa kaligrafi yang mas lihat di dinding ruang tamu." jelas Mas Ibnu yang sulit aku percaya.
Ku letakan buku yang kugenggam erat tadi sedikit agak kasar ke atas kasur. Lalu memandang Mas Ibnu penuh selidik, "Dikamar Mba Indira?"
Mas Ibnu mendorong keningku menggunakan jari telunjuknya, "Mas nggak main sampai kamarnya. Kamu jangan aneh-aneh deh, Prill." setelah kata itu lunas terucap, Mas Ibnu meninggalkanku menuju kamar mandi.
Aku membuntutinya sampai Mas Ibnu masuk dan pintu ditutup kakiku tertahan didepan pintunya. Suara kucuran air dari keran mulai menyerbu pendengaranku setelah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Sudut Pandang : Kekasih Idaman
FanficPrilly Theresya Sihasale seringkali merasa bahwa dirinya sedanng berada diambang kebimbangan setelah mengenal Tirza Nichol Adiputra yang sering membual dan juga Muhammad Sahal Ali Mahsud si ketua kelas nan sholeh. Disatu kesempatan dia telah mantap...