Kekasih Idaman | Bab 31

784 55 4
                                    

Prilly

Hari dan bulan-bulan berikutnya keluargaku semakin hangat dan harmonis. Mba Dira sudah mulai mual-mual, kata Ibu sedang mengandung buah dari cintanya sama Mas Ibnu. Baru sekitar delapan minggu, masih rentan. Mas Ibnu mewanti-wanti ku agar bantu Mba Dira dan jangan membiarkan dia mengerjakan sesuatu yang berat-berat. Oke, Mas Ibnu sayang banget sama Mba Dira.

Soal pendekatanku sama Ali, masih di batas normal. Kami menjalaninya dengan baik, sesuai instruksi-instruksi yang di berikan oleh Ayah. Kamipun nggak terlalu menjaga jarak, Ayah bilang kalau mau pergi berdua silahkan saja asal jangan kelewat batas hanya karena keluarga merestui hubungan kita. Kita nggak pacaran, Ali maunya begitu dan aku menurut saja.

Dan soal Nichol..

Biar kuceritakan waktu terakhir kudapat kabar darinya. Waktu itu dirumah hanya ada Mba Dira, aku dan Ali. Itu hari minggu, tapi Ayah dan Ibu sedang pergi. Mas Ibnu juga sedang menemui rekan bisnisnya. Lihat, Mas Ibnu udah mulai cari uang sendiri, memberi nafkah ke Mba Dira yang sekarang sedang mengandung anaknya. Aku bangga sama Masku, walau masih kuliah tapi semangat buat membiayai hidup Mba Dira dengan hasil jerih payahnya walau aku tahu jaman sekarang nggak mudah mendapatkan uang.

Mba Dira sedang mencuci piring di wastafel, habis buat rujak tumbuk  jambu yang pedas banget. Aku cobain sekali, langsung mules cari wc. Tapi Mba Dira kuat sampai habis, katanya lagi pengen makan yang pedas-pedas. Aku nggak larang dia kalau itu permintaan dari jabang bayi yang sedang Mba Dira kandung. Toh, Mas Ibnu hanya berpesan supaya aku nggak biarin Mba Dira kerja berat bukan makan pedas.
Aku mengayun langkah teras rumah sambil mengikat rambutku yang mulai panjang. Ikatan asal ala Prilly, yang cukup membuatku nyaman. Diteras kulihat Ali sedang menatap jauh keawang, duduk di salah satu bangku yang ada di depan teras. Dimejanya ada secangkir teh yang sepertinya sudah dingin.

Aku kembali lagi kedalam, menuju dapur, membuat teh yang baru untuk Ali. Sempat di tanya Mba Dira juga kenapa balik lagi, ku jawab sejujurnya apa yang hendak kulakukan. Dan respon Mba Dira malah tertawa. Tapi aku diberitahu kalau Ali nggak suka teh pakai gula, hanya teh yang di kucuri air panas lalu dihidangkan tanpa pemanis. Aku menuruti saran Mba Dira, dia panutanku soal Ali.

Sampai diteras, langsung kuletakan cangkir yang kubawa dari dapur diatas meja Ali. Lalu menggeser cangkir sebelumnya sebelum aku duduk dibangku yang lain.

Ali menoleh, mungkin baru menyadari kehadiranku disisinya. "Makasih, ya." ucap dia sambil senyum yang selalu.. Ah, sudah kubilang senyum Ali itu manis. Mungkin itu alasan dia nggak suka pakai gula di tehnya.

"Tehnya udah nggak hangat, jadi gue buatin yang baru. Biar hangat."

Ali meneguk teh pemberianku, lalu ku teguk teh yang sudah lama dingin. Ini manis? Apa karena ini dia nggak minum tehnya?

"Kata Mba Dira kamu nggak suka teh manis." kataku padanya sambil menatap.
Dia masih memandang lurus kedepan sembari memegang gagang cangkirnya, "Iya, ini saya yang buat."

"Kalau gitu kenapa dibiarin sampai dingin?" tanyaku heran.

Barulah Ali menoleh, "Sengaja biar dibuatin yang baru sama kamu. Jadi kamu minum yang buatan saya." lalu dia meneguk tehnya lagi.

Aku terkekeh, "Enak," kata dia setelah menyimpan kembali cangkir itu diatas tatakannya.

"Semua teh rasanya sama," balasku mengelak semu merah atas pujiannya.

"Beda kalau kamu yang buat. Saya selalu suka apalun yang kamu buat." kata Ali.
Aku membuat suara dehaman, menetralkan gemuruh yang kian memburu hanya karena ucapan Ali barusan. "Kalau gue masak batu, juga bakal lo bilang enak?"

Tiga Sudut Pandang : Kekasih IdamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang