01. Dusk and Dawn

58 10 19
                                    

Senja dan fajar itu saling melengkapi satu sama lain, jangan membenci senja sebab ia menjemput malam, tetapi bersyukurlah, karena dia mengiringi hingga terbit  fajar -Jung Jaehyun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja dan fajar itu saling melengkapi satu sama lain, jangan membenci senja sebab ia menjemput malam, tetapi bersyukurlah, karena dia mengiringi hingga terbit  fajar -Jung Jaehyun

Happy reading Reader's ♥

***

Jika ditanya aku lebih menyukai senja atau fajar jelas akan ku jawab dengan lantang ‘aku sangat menyukai fajar’. Tetapi takdir berkata lain, walau aku pernah membenci senja karena hanya akan ada kegelapan dimana-mana, sejak mengenalnya aku jadi menyukai senja dengan ikhlas.
Senja itu menjemput malam, dimana hanya ada kegelapan dan kesunyian dan aku membenci itu. Namun, karena malamlah yang mengiringi senja untuk menyambut sang fajar kembali hadir di setiap harinya.
Sama halnya dengan senja, aku mencintai dirinya secara diam dan tenang. Menyembunyikan perasaan setiap saat, dan hanya bisa mengadu kepada tuhan lewat cahaya senja yang kian mengelap
.
.
.
Ada sesuatu yang masih ku pertanyakan, mungkinkah senja memang ada untuk menyempurnakan sang fajar? Jika benar, aku akan sangat bahagia karena masih memiliki kepercayaan bisa bersanding dan menyempurnakan hidupnya.

Terimakasih sang senja, karena telah hadir menyambut fajar setiap harinya ...

❈❈❈

Matahari terbit di minggu pagi, hari ini cerah, dan semua orang terlihat bahagia tetapi tidak dengan Jena, gadis bermarga ‘Lee’ itu tengah bersedih setelah melewati kabar duka kemarin sore. Iya, dia baru saja kehilangan bundanya, hari ini bahkan tak memakan sesuap nasi pun.

“Dek, makan dulu ih!” itu suara kakaknya, si Jeno.
Lelaki tampan itu sudah berusaha mengetuk pintu kamar Jena yang masih terkunci, sudah hampir 10 menit usaha kakaknya itu hanya sia-sia. Piring sisa kemarin juga masih utuh, tak tersentuh sedikitpun olehnya.

Di kamar, lee Jena masih saja larut dalam kesedihannya, matanya sembab dan masih terisak sambil memeluk bingkai foto almarhuma bunda tercinta. Gadis bersurai legam sebahu itu, kemarin barusaja menginjak usia 18 tahun, ulang tahunnya bertepatan dengan kematian bundanya.

“Bunda ...” suara Jena, ia terisak sampai-sampai sudah tak ada suara yang terdengar lagi.
Anak itu kemudian kembali berdiam dikamar,menarik selimut dan tidur kembali hingga tersentak ketika menyadari perutnya berbunyi.

Aahh aku belum makan dari kemarin. batinnya, sambil memegangi perutnya dengan tangan gemetar, ia pun bangkit dan keluar kamar.

Tidak ingin berlarut dalam kesedihan serta berusaha mengikhlaskan kepergian bundanya itu, anak yang masih mengenakan kaos hitam tadi bergegas mandi, sarapan, dan pergi joging seperti biasanya.

“Dek, sini kakak suapin” tutur Jeno lembut, sambil mengusap rambut adiknya.
“Gak usah, Jena udah besar bukan anak kecil lagi.” Melihat Jena sudah mau berinteraksi lagi, Jeno pun ikut senang.

Dear Sang Pengagum SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang