The Call

10 1 0
                                    

Ada dua hal yang paling Dista benci, ribet dan terburu-buru. Dan siang ini dia terjebak dengan keduanya. Dalam hati berkali-kali menyalahkan Ibu dan kakaknya karena kedua orang tersebut menyebabkan Dista harus membawa goodie bag yang berisi dua lapis kukus dua bolu panggang di tangan kanan, satu kantong plastik warna putih berisi baso aci instan dan makaroni tasik, serta dua almond krispi yang membuat ransel pinknya berbentuk aneh dan tidak keren sama sekali. Lain kali Dista akan menolak jasa titip.

Satu lagi, Dista harus menahan untuk tidak misuh-misuh pada mas ojol karena lama sekali menemukan lokasi kosnya yang membuatnya hampir saja telat masuk kereta. Demi Allah! Surabaya itu selain panas naudubillah juga bisa macet. Ini yang membuat Dista menjadi gupuh tidak jelas.

Dista sangat tidak menikmati momen pulang kampungnya ke Madiun kali ini.

Menghiraukan ponsel yang bergetar di dalam tas slempangnya, Dista merapikan jilbab corskinnya yang berantakan setelah mendaratkan bokongnya di kursinya dekat jendela. Menegak minum dari botol minum warna ungu miliknya, masih menghiraukan getar dari dalam tas slempangnya.

"Assalamualaikum!" Jawab Dista setelah getar yang keempat.

"Waalaikumsalam! Adik di mana?" Tanya suara feminin yang terdengar khwatir dan satu oktaf lebih tinggi dari suara biasanya.

"Di kereta, Bu. Ini baru aja jalan keretanya" jawab Dista menahan kesal.

"Oh keretanya udah jalan, ya? Ibu kira masih belum jalan, mau nambah lapis kukus yang rasa stroberry" Suaranya turun satu dan kembali normal seperti biasanya.

Dista mengusap wajahnya kesal dan lelah, "Nanti aja pas ke Surabaya bareng-bareng satu keluarga, beli semua varian rasa ya, Bu"

"Yowis, ati-ati yo, Dik. Assalamualaikum!"

"Salam" lantas memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas slempangnya lalu memasang masker sekali pakai dan menutup mata, memeluk tas slempangnya, mencoba tidur. Tidak peduli melihat-lihat pemandangan dari kereta, Dista sudah bosan.

Setengah enam sore, Dista semakin manyun dalam maskernya ketika melihat kakaknya, Dika, dengan wajah penuh kringat dan celana pendek dan kaos oblong yang terlihat banyak bercak cat menghampirinya yang sudah lebih dari 15 menit berdiri di luar stasiun kereta kelelahan dan mulai lapar.

"Ayo! Maaf yo, maeng sik rewang" (Ayo! Maaf ya, tadi masih bantu-bantu) kata Dika mengambil alih goodie bag dan kantong plastik dari tangan Dista

"Ngerti ngono aku pesen ojol" (tahu gitu aku pesan ojol) omel Dista lantas jalan mendahului kakak satu-satunya itu.

"Cup! Cup! Ngko tak tumbasne es batu" (Cup! Cup! nanti aku belikan es batu)

"MAS DIKA! YA ALLAH!" Dista tidak yakin bahwa kakaknya yang bentukannya seperti itu, minggu depan akan menikah.

Tapi ya mau bagaimana lagi, Dika dan Dista seperti kebanyakan  kakak beradik di Indonesia. Satu detik baru bertemu langsung perang.

Meskipun dibuat kesal oleh kakaknya, bahkan satu detik setelah bertemu pun, Dista mengakui tidak ada yang bisa mengalahkan nyamannya rumah, nyamannya tanah kelahirannya, Madiun kota gadis. Kota perdagangan dan industri. Oh! Bahkan tidak semua orang tahu bahwa 'gadis' yang dimaksud kota madiun adalah singkatan dari perdagangan dan perindustrian. Bagaimana Madiun tidak nyaman? Mau sok-sokan makan hedon di rumah makan artis atau sekadar di pehade, kaefci atau mekdi macam anak Surabaya sana, Madiun bisa menyediakan. Kabupaten sekitar apa ada? Mau ngemall di mall yang besar, juga ada. Makanan kekinian mudah ditemui, mau belanja semua ada, mau sederhana khas anak Madiun juga ada pasar tradisional yang sudah rapi dam bersih.  Kecuali terminal bus, Madiun kalah jauh dengan Ponorogo yang bahkan sudah menyediakan wifi gratis.

Sangat sulit bagi Dista untuk tidak tersenyum dan melepas maskernya, menghirup kota-hampir-metropolitan Madiun.

**

Dista memakan sebagian lapis kukus rasa pandan yang dibawanya karena sudah tidak tahan lapar sedangkan Ibunya sengaja tidak masa karena malam ini berencana pesan bebek goreng. Sayangnya pesanan bebek goreng belum datang.

"Loh jangan dihabisin toh, dik! Masa yang bawa oleh-oleh yang makan sendiri" tegur Bapak yang baru keluar kamar mandi saat melihat Dista berdiri depan pintu kulkas yang terbuka, mengambil dua potong lapis kukus rasa pandan.

"Lah mau masak mie, nggak dibolehin Ibu. Lagian pesen bebek di mana sih kok lama banget. Ini udah jam tujuh baidewaei! Makan soreku biasanya paling lambat jam setengah tujuh, selebihnya itu ngemil" omel Dista sambil melahap lapis kukusnya.

"Dik! Pakai jilbab!" Teriak Ibu dari arah ruang tamu.

Berjalan ke ruang tamu sambil menjilati jari-jari tangannya, "Ada apa sih, Ibu Suri?"

"PAKAI JILBAB!" Ibu tidak berteriak, hanya mendesis, tapi ekspresi wajahnya membuat Dista seperti dibentak.

Dista mlipir ke kamar, saat bersamaan ada suara salam seorang laki-laki, yang disambut girang oleh Ibunya. Terlalu girang malah.

"Dik! Cepet! Bebeknya udah dateng!" Kali ini kakaknya, Dika yang berteriak.

Dengan penuh semangat dan perut yang semakin terasa diremas Dista kembali ke ruang tamu.

"Hai, Ta!"

"Mas Rendra?"

Unexpected Guest [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang