Day-1

3 1 0
                                    

"Bu! Beli manco kok jauh banget sih?" Protes Dista saat ibunya sedang mengecek isi tas, bersiap-siap berangkat, sedangkan Dika yang sudah mulai bosan duduk di balik kemudi tapi mau mengeluh pun sudah tidak bisa, sudah terlalu biasa.

"Kebonsari masih Madiun yo, cah ayu" jelas Ibunya.

"Bu, Kebonsari-nya produsen manco ini lebih deket ke Ponorogo daripada Madiun sini loh! Kan kalau cari sekitar sini pasti ada yang jual, kan lebih efisien"

"Nggak papa! Itu yang punya kan temen SMA Ibu, dapet diskon trus bisa rekues suka-suka" lalu pergi namun segera berbalik lagi, "Jangan lupa! Habis Mas Rendra sarapan, ambil baju di penjahit. Kalau nunggu sekalian diambil Bapakmu pas pulang dari Nganjuk, kelamaan. Jangan lupa dicek dulu, trus tanya kalau ada yang kurang bisa diperbaiki lagi kapan"

"Aku bisa ke penjahit sendiri kok, Bu. Mas Rendra biar di rumah aja! Masa tamu disuruh-suruh"

"Nggak papa! Kalau di rumah terus nanti aku ngantuk!" Jawab suara dari belakang Dista kemudian sosoknya muncul di sampingnya.

"Tuh, kan!" Ucap Ibu lantas pergi, masuk ke mobil.

Ini bukan pertama kali Dista duduk diboncengan Rendra. Tapi, karena perasaan Dista pada Rendra yang tak biasa, berapa kalipun dibonceng akan sama seperti pertama kali. Apa lagi kini Rendra tidak sekurus dulu, badannya lebih kekar, dan Dista yang merasa lebih gemukan pun takut kalau sepeda motor supra Ibu yang antik ini akan membuat mereka terlalu dekat. Mungkin Rendra akan biasa saja, tapi ya mana mungkin Dista bisa biasa saja.

Jadi, dalam perjalanan ke penjahit ini Dista hanya diam kecuali Rendra yang bertanya dulu. Meskipun Dista sendiri juga merasa lumayan garing dengan tidak banyak berbicara dengan orang yang memboncengnya padahal perjalanan dri rumahnya dan rumah penjahitnya yang berada di Caruban bisa dipakai buat mengobrol banyak hal tapi ya apa mau dikata? Dista sudah tahu banyak tentang Rendra, tentang yang sudah putus dan ditinggal nikah duluan sang mantan, yang memilih untuk keluar dari KAI di Bandung dan memilih untuk pindah haluan ke INKA di Madiun meski belum tahu pasti apa alasan untuk kembali merantau, tentang adiknya yang akan melanjutkan S2 di luar negeri, tentang Papanya yang baru sembuh dari stroke, tidak ada yang perlu ditanyakan. Lagi pula sudah cukup basa basi di rumah. Mau tanya apa lagi?

"Eh, Ta! Tumbas corah, yuk!"

Dista hampir tertawa mendengar Rendra mengucapkan kata 'tumbas'. Kuliah di Surabaya tidak mungkin tidak menambah wawasan tentang bahasa jawa dan menjadi sahabat seorang Dika sudah pasti membuat pengetahuan bahasa jawanya lebih berwarna.

"Yakin, Mas?" Tanya Dista menahan senyum.

Rendra mengangguk mantap, "Iya dong!".

"Oke! Nanti beli di deket SMP aja, Mas!"

Sepuluh tahun sebelumnya....

"Dik!" Panggil Dika dari depan TV.

"Opo?" Jawab Dista yang masih di kamar, tiduran di kasur membaca novelnya.

"Sinio!"

"Opo?" Masih belum beranjak dari kasur. Ada Rendra sebagai tamu membuat Dista tidak banyak kegiatan. Biasanya dia yang akan diajak main PS, tapi sekarang sudah diambil alih oleh Rendra.

"Westo sinio!"

Dengan malas Dista menutup lantas membanting novelnya di atas kasur.

"Opo?" Kali ini nadanya penuh kesal, melihat kakaknya yang sedang fokus bermain PS bersama temannya asal Bandung yang ganteng. Mas Rendra. Setidaknya ada Rendra bisa sedikit melunturkan amarah, karena mana mungkin Dista bisa tidak adem setelah melihat Rendra yang sangat keren bahkan ketika bermain PS dan sebal karena kalah oleh Dika.

"Yes!" Sorak Dika sangat gembira.

"Opo toh, Mas Dik?"

"Tumbas corah, ndang!" (Beli cora, dong!) Sambil menyerahkan uang pecahan dua puluh ribu pada Dista.

"Es, tiga. Sisanya corah." tambah Dika saat Dista menerima uangnya.

"Kunci motor?"

"Halah! Sini situ aja motoran. Ngontel! Biar sehat. Lagian masih SMP nggak boleh banyak-banyak motoran"

"Gek dalile sopo?" (Dan dalilnya siapa itu?) tanpa peduli omongan Dika, Dista menstarter motor yang kuncinya dia temukan di atas meja ruang tamu.

"Ini tak kasih tahu, Ren. Namanya corah" jelas Dika saat menuangkan saus corah di atas mangkok sedangkan Dista menaruh corah di piring.

"Kaya pentol nggak sih? Tapi bedanya ini kaya dipotong-poting, trus nggak ada kuah, trus kaya ada tahunya" Tanya Rendra saat setelah menyomot satu dan mengamati potongan corah di antara jari telunjuk dan ibu jarinya.

"Rasain dulu dong, Mas!" Ucap Dista.

"Hmm boleh boleh! Enak kok" Setelah Rendra berhasil memakan satu potongan tadi.

"Namanya nggak corah kalau nggak dimakan sama saosnya" ucap Dika lantas menusuk satu potong corah dengan tusukan dari bambu, menyelupkannya di saus merah dan beraroma sangat pedas, lantas melahapnya dengan sangat nikmat.

Rendra pun mengikuti Dika, tapi baru satu detik si corah masuk ke dalam mulutnya, wajah Rendra langsung merah padam. Tapi, dia berusaha tetap mengunyah.

Dika langsung tertawa, "Mbokyo sedikit saja. Wes tahu nggak betah pedes tapi nggak sadar diri"

Setelah berhasil menelan door prizenya, Rendra langsung menegak habis pop es bagiannya. Sedangkan Dista, yang sedang melahap corah merasa kasihan dengan Rendra tapi tak bisa menahan senyum, wajah Rendra yang memerah karena wajahnya yang cukup putih justru membuatnya semakin lucu. Setidaknya itulah yang dipikirkan Dista.

"Sausnya pedes loh, Mas!" Peringat Dista pada Rendra.

"Kalau nggak pedes ya namanya pentol, Ta!"

Selebihnya Dista hanya menonton Rendra yang masih berjuang menahan lidahnya untuk tidak terbakar makan corah dan menghabiskan dua pop es yang dibelinya dalam waktu kurang dari lima menit. Lagi pula, mana bisa Dista menolak jika akan disuguhkan wajah Rendra yang memerah. Kinda cute, tho!

"Ya, kan?" Ucap Dista sambil tersenyum tipis. Orang ganteng mau kepedesen sampe bengoren ya tetep ganteng.

**

Siangnya, sepulang ibu dan kakaknya dari Kebonsari, Dista kena semprot ibunya karena memberi makan Rendra corah. Tidak masalah bagi Dista mendengar omelan sang Ibu Suri. Sedangkan Dika, sebagai mestinya seorang sahabat tak berhenti menggoda Rendra yang sedang terbaring dengan perut yang masih terasa panas.

"Ini temannya sakit malah diketawain!" Omel Bu Trisno pada Dika.

"Loalah, Bu. Rendra itu emang nggak kuat pedes, tapi nggak sampe sakit. Kalau makan pedes pasti perutnya bakal panas. Nggak sakit ini tuh!" jelas Dika masih dengan tawanya yang penuh dengan kebahagiaan.

Itulah Bu Trisno, sangat perhatian pada Rendra yang sudah dianggap seperti anak asuhnya sendiri. Dengan sikap dan sifat baik yang dimiliki Rendra siapapun yakin akan mau mau saja menganggap lelaki itu seagai anak sendiri dan beberapa menjadi menantu.

Sorenya, saat pulang dari tugas kantor dadakan di Nganjuk, Pak Trisno membawa kabar gembira untuk semua orang di rumah. Makan malam di luar.

Unexpected Guest [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang