Flowers Across The Seasons

22 1 6
                                    

"Sensei benar-benar bangga atas pencapaianmu, tapi coba pikirkan sekali lagi: apakah kamu yakin tidak mau lanjut kuliah? Mengabdikan diri menjadi seorang Legion secara penuh memang tujuan mulia, namun bukan berarti kamu harus membuang kesempatanmu untuk bisa belajar lebih banyak lagi."

"Terima kasih atas pencerahannya. Tetapi keputusan saya sudah bulat, saya akan tetap bergabung dalam Legion sebagai anggota penuh setelah kelulusan, ini adalah ambisi saya. Jadi, saya mohon Sensei dapat mengerti."

"Ya sudahlah, pada akhirnya semuanya juga kamu yang menentukan. Sensei hanya mengharapkan yang terbaik bagimu. Semoga sukses, Minoru-san."

"Terima kasih banyak, Sensei."
.

.

.
Ketika bunga sakura bermekaran, aku menjalani upacara kelulusanku. Menghabiskan sisa-sisa waktu terakhir bersama teman-temanku di sekolah, berbagi tawa dan tangis haru. Namaku dipanggil saat kepala sekolah mengumumkan prestasi akademik yang kucapai dalam ujian akhir, semuanya bertepuk tangan. Aku maju dengan wajah tersipu, menerima piagam itu dengan senyum malu-malu.

Tak terasa setelah kelulusanku, aku mulai bekerja sebagai anggota penuh di Legion. Aku yang dulunya hanya paruh waktu sepulang sekolah, kini menghabiskan waktu dari pagi hingga malam di sana. Aku tidak hanya berlarian ke sana-sini mengejar penjahat yang menyalahgunakan kekuatan Blade, namun juga belajar di divisi penelitian Legion.

Sambil terus mencari keberadaan Yotsura, aku merangkak naik ke posisi ketua cabang. Aku bersyukur diberkahi dengan anggota-anggota yang baik, suasana di kantor selalu terasa hangat-- seperti dulu.

"Selamat sore, Ketua Minoru!"

"Aneh, ya, padahal kita seumuran, tapi kamu sudah jadi ketua. Heran."

"Minoru-san, lihat! Aku berhasil menuntaskan misi pertamaku!"
.

.

.
Senyumku nyaris pudar ketika aku bertemu dengan lelaki itu lagi.

Dia datang ke hadapanku pada suatu hari, tanpa mengatakan apa-apa. Hanya diam. Melihat sosoknya, aku langsung tersulut amarah. Bagaimana tidak, dialah orang yang membunuh Ren-kun, wajar saja aku ingin balas dendam.

"Berani-beraninya kamu menampakkan diri di hadapanku lagi?"

Pemuda yang bernama Kira itu masih diam. Matanya terlihat kosong. Bibirnya terkatup rapat, namun kulihat sesekali gemetar, seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Aku benar-benar membencimu, Kira," aku tertawa pahit seraya mengeluarkan Blade milikku dan langsung menebaskannya ke arah Kira. Seranganku mengenai lengannya, bisa kulihat tetesan darah mengalir dari luka yang kubuat.

Namun, aku masih belum puas. Orang ini telah melukai Ren-kun lebih parah lagi. Aku akan membuat dia merasakan yang sama.

"Kenapa tidak melawan, hah?!" Seruku frustrasi kala mendapati Kira tidak memberikan perlawanan sama sekali.

Tetapi, untuk sepersekian detik, tubuhnya yang sudah terluka di sana-sini mengingatkanku kepada Ren-kun yang diperlakukan sama. Barulah aku tersadar, kalau yang kulakukan tidak ada bedanya dengan seorang pembunuh. Seandainya kubunuh Kira pun, tidak akan ada yang berubah.

Aku berhenti mengayunkan pedangku, "Dengarkan aku baik-baik."

Mendengarku, Kira tetap membisu.

"Sebenarnya aku masih belum bisa memaafkanmu, bahkan sampai saat ini."

Dia masih diam, tetapi kepalan tangannya mengerat.

"Namun, bukan berarti kamu tidak bisa menebus kesalahanmu," aku menurunkan pedang bungaku dan berjalan mendekatinya. "Masih ada kesempatan, gunakanlah sebaik-baiknya."
.

.

.
"Minoru Himuro-san, dengan ini saya menyatakan keputusan para petinggi untuk menobatkanmu sebagai Komandan Legion."

Sampai akhirnya aku dipisahkan lagi dengan 'keluarga' baruku.

Namun aku tidak menyesal. Mereka baik-baik saja tanpaku. Salah satu dari mereka menggantikanku menjadi ketua, dan hingga sekarang belum ada terdengar masalah. Mereka juga masih ada kontak denganku, meski setelah aku meninggalkan posisiku di kantor cabang.
.

.

.
"Ketu-- Shiranui-san, kau akan menikah?"

Aku terkejut ketika Shiranui Terano, mantan ketuaku dulu, tiba-tiba mengirimkanku undangan pernikahannya.

Tentu saja kuhadiri pesta pernikahan itu. Dan aku hampir meneteskan air mata saat melihat Ketua Shiranui tersenyum bahagia di samping kekasihnya.

"Selamat atas pernikahannya," ucapku.

Dan aku yakin Paman Kirisu juga akan bilang begitu.

Setahun setelah pernikahan itu, mereka dikaruniai seorang anak. Anak perempuan yang mereka beri nama Musu.

"Aku tidak tahu mengapa aku memberinya nama itu. Hanya saja, ada perasaan yang membuatku rindu untuk memanggil namanya lagi," jelas Ketua Shiranui sembari mengelus lembut sang buah hati yang tengah tertidur lelap dalam gendongannya.
.

.

.
"Lama tak bertemu, Kira-kun. Akhir-akhir ini kau kelihatannya senang sekali."

"Kau tahu, belum lama ini ada anggota baru di kantor cabang Distrik 7, namanya Hashino Iana. Dan kupikir, aku cukup tertarik padanya," jawabnya sambil tersenyum ceria.
.

.

.
"Kau sudah menyelesaikannya? Terima kasih, Nikuyama-san."

"Senang bisa membantumu, Komandan," jawab gadis itu sambil menyerahkan laptop Ren-kun kepadaku.

Aku memandangi laptop itu dengan tatapan sendu, lalu tersenyum tipis, "Nikuyama-san, kau suka membaca novel?"

Gadis bernama Nikuyama Chii tersebut bertopang dagu, "Tidak terlalu, memangnya kenapa?"

"Tidak apa-apa, hanya ingin tahu saja," jawabku.
.

.

.
Hari libur yang kutunggu-tunggu akhirnya datang. Jika diingat-ingat, terakhir kali aku bebas tugas adalah dua bulan yang lalu. Dan aku berencana menghabiskan waktu di sebuah kafe sambil membaca buku.

Kini aku duduk dengan nyaman bersama secangkir kopi hitam dan sebuah novel. Buku yang tebalnya kira-kira dua ratus halaman itu kubaca habis dalam beberapa jam, bersamaan dengan habisnya isi kopi di cangkirku. Tiba-tiba seorang pelayan kafe menghampiriku, "Novel itu, apakah kamu juga menyukainya?"

Aku mendongakkan kepala, menatap sosok pelayan tersebut, "Ya, aku sangat menikmatinya."

Dia tersenyum senang, "Aku juga penggemar novel ini! Bolehkah kita ngobrol sebentar?"

"Silahkan," tanganku mengisyaratkan dia untuk duduk. Dia pun duduk di depanku dan mengeluarkan buku yang sama. Kami pun mulai membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan isi novel tersebut.

"Haaa, rasanya puas bisa ngobrol dengan seseorang yang menyukai novel ini juga! Jarang-jarang, lho," dia menghela napas, "Aku benar-benar menyukai karyanya, tapi... kudengar penulis aslinya sudah lama meninggal, jadi aku tidak bisa banyak berharap."

"Ya... kamu benar," aku menunduk, kemudian mengusap sampul depan novel yang bertuliskan 'Erstwhile' dengan nama pengarangnya; Amatsuki Ren.

"Ini merupakan karya pertama dan terakhirnya."

BLADE - Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang