~1~

19 4 1
                                    

Happy reading untuk pembaca setia aku 🤍

***

Nggak kerasa gue udah berada di pertengahan semester ganjil kelas dua belas. Gue bahkan nggak nyangka bisa berada di fase ini, fase yang dulunya sempat gue khawatirkan karena mengingat masa awal SMA gue yang nggak begitu mulus.

Tapi udahlah ya, masa lalu biarlah berlalu.

Terlalu menyakitkan untuk diingat dan terlalu sayang untuk dilupakan.

Biarkan itu semua jadi kisah klasik untuk kehidupan gue nantinya.

"Heh! Bengong aja, heran gue sama lo. Hobi banget bengong sendirian di bawah pohon pula. Nggak takut kesambet lu?" Ucapnya sambil menepuk pundak gue.

Dia adalah Mala, lebih tepatnya Nurmala Putri Handayani. Bisa gue katakan dia teman terbaik gue. Kenapa gue berani bilang kayak gitu? Karena dialah yang selalu ada disaat gue susah, jatuh, dan bahkan terpuruk sekalipun.

Seolah tangannya selalu terulur untuk membantu gue.

Dan yang bikin gue salut, dia datang pas gue lagi terpuruk banget. Sampai dulu gue pernah mengira dia seorang cenayang, itu loh bisa baca pikiran disaat orang itu belum nyebutin.

Tapi setelah gue korek informasi dia, ternyata dia punya rasa kepedulian yang tinggi. Ibaratkan sekarang tuh peka banget sama sekitarnya.

Ditambah lagi gue sering baca artikel yang isinya.

"Dia sahabat atau bukan, bisa kamu ketahui ketika posisimu sedang berada di bawah dan terjatuh, bukan saat bahagia dan sedang di atas"

Dan fix, gue memilih dia sebagai teman sekaligus sahabat terbaik gue. Tapi nggak lebay kayak anak SD yang nulis dibuku nya dengan tulisan my best friend forever juga sih.

Dan terbukti sampai sekarang dia tetap yang terbaik bagi gue, meskipun banyak teman lain yang dekat sama gue.

"Apaan sih! Siapa juga yang bengong? Orang lagi liatin pohon itu." Ucap gue sambil menunjuk pucuk pohon yang terus bergoyang oleh angin.

"Nggak ada habisnya lo liatin pohon goyang, mendingan lo liat gue goyang tiktok atau lo mau ikut?" Tawarannya.

"Nggak, terimakasih." Ucap gue dengan tatapan yang tak lepas dari objek pertama.

"Semakin tinggi pucuk pohon, semakin kuat terkena hembusan angin. Sama kayak kehidupan. Semakin tinggi karir lo dan kesuksesan dalam kehidupan lo, pasti banyak juga rintangan yang harus dihadapi." Nasihatnya.

Gue yang denger pun cukup bingung dan aneh, tumben banget kayak gini, nggak biasanya. Alhasil gue cuma bisa jawab "Hah" dengan alis yang saling bertautan.

"Ini alis sama dahi nggak usah dikerutin, ntar tua sebelum waktunya baru tau!" Jawabnya sambil menekan alis dan dahi gue biar seperti semula.

"Hoh."

"Lu kenapa sih dari tadi hah hoh hah hoh mulu. Fix ini lo kesambet." Ujarnya sambil menoyor kepala gue, anjir itu sakit banget.

"Jangan ditoyor pula kepala gue woy! Harusnya gue yang bilang kayak tadi, gue yang melamun kok lu yang kesambet." Jawab gue sambil mengelus bekas toyoran Mala.

My JournalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang