01

530 26 0
                                    

Author lagi tertarik sama cerita bergenre xianxia akhir-akhir ini, dan akhirnya nyoba nyelipin adek-adek kesayangan ke dalem genre cerita ini.

apa itu xianxia? xianxia itu genre yang mengandung unsur asia timur lebih tepatnya China, bela diri, dan agama Tao (kultivasi)

berbekal pengalaman baca beberapa buku xianxia dan browsing,  author mohon maap kalo ternyata ada beberapa istilah yang gak tepat, bagi yang lebih tahu diri ini terbuka untuk masukan dan koreksi.

semua multimedia di book ini bersumber dari Haoliners, author sama sekali gak punya kredit atas gambar-gambar itu (kecuali cover), kalo kepo silahkan mampir ke weibonya langsung nanti aku kasih linknya

Selamat membaca~

📜

"Hyung-nim!"

Pemuda bersurai hitam yang sedang memaku fokus pada tumpukan kertas ulangan di hadapannya itu menoleh saat suara cempreng terdengar dari sudut ruangan. Ia merutuki dirinya yang terlalu berfokus pada pekerjaan sampai tidak menyadari eksistensi seseorang di sana.

"Ya?" yang dipanggil hyung-nim itu memiringkan kepalanya dan menatap anak itu penuh tanda tanya, suaranya lembut meski masih sedikit memancarkan ketegasan statusnya, "kenapa belum pulang?"

"Appa belum datang," anak itu menoleh ke arah jendela kelas, "dan hujan deras. Jalanan pasti macet."

Pemuda itu mengangguk kecil sebelum kembali berfokus pada tumpukan kertas di hadapannya. Menjadi guru sekolah menengah atas di usianya yang baru lulus dari universitas membuatnya terlihat sedikit mencolok di antara guru-guru yang lain, apalagi saat dia diberikan kesempatan untuk menjadi wali kelas di tahun keduanya mengajar. Kepala sekolah dengan bangga berkata bahwa ia memenuhi kualifikasi untuk memikul beban mengisi pelajaran yang sama di kelas yang sama tiga kali dalam seminggu, ditambah kewajiban untuk berkunjung ke kelas setiap makan siang. Tidak salah juga. Tapi yang orang tua itu tidak tahu adalah ia juga harus memikul beban tekanan dari guru senior yang terus memandangnya seakan-akan ia adalah rubah licik yang sudah berhasil memikat sang kepala sekolah untuk posisi mengajar yang—kelewat—bagus.

Mereka berlebihan, tapi ia bisa apa? Semakin ia menyanggah, semakin ia akan dicap tidak tahu diri dan kurang ajar.

"Renjun hyung-nim!"

Kali ini hanya gumaman kecil yang hampir tersamarkan oleh suara hujan di luar, tapi anak itu secara ajaib dapat mendengarnya. Anak itu menopang kepalanya dengan tangan kanan dan memasang raut menyedihkan, seperti anak anjing yang minta dielus karena kurang perhatian.

"Hyung-nim tidak bosan?"

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Renjun langsung pada inti saat melihat gelagat anak itu, di umur segitu umumnya anak-anak akan lebih sering membangkang dan baru akan bersikap manis jika ada maunya. Terutama anak yang duduk di pojok sana, anak itu beberapa kali beradu kata dengannya di kelas dan masih untung ia bisa menahan emosi dengan sangat baik.

Baru beberapa bulan ia menjadi wali kelas dan ia sudah mahir membaca karakter anak. Hebat sekali memang.

"Aku dengar dari anak-anak, hyung-nim menceritakan mereka sebuah kisah saat makan siang di hari aku tidak hadir,"

Oh, Renjun ingat. Itu beberapa hari yang lalu saat anak ini tidak masuk sekolah dengan alasan urusan keluarga.

"Kata mereka ceritanya hebat, jadi aku penasaran dan ingin mendengar kisah itu dari hyung-nim langsung."

The Young Master Who Cut His Hair ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang