PRAJURIT AYAH

131 8 12
                                    

Ruangan isolasi ini sempit. Setidaknya, cukup membuat fantasiku terkurung. Aku dianggap gila oleh kaum mayoritas. Padahal, bagiku aku hanya melakukan se.... KRIEEKK. Narasi ini harus terhenti karena masuknya petugas yang berkumis cukup rimba kedalam sel isolasi ku. Pintu besi yang sudah tua itu membuatku paham bahwa akan terjadi rentetan wawancara.

"saudara Alwi, harap ikut saya. Kita akan segera memulai introgasi anda." Sebuah kata yang otomatis keluar dari balik kumis menjijikkannya sebelum akhirnya diborgol tanganku. Ia mengantarku menuju ruang yang katanya ruang introgasi dengan berjalan tepat di belakangku. Takut aku akan melarikan diri, mungkin.

Aku bisa mencabuti rambut - rambut diatas mulutnya itu dengan pinset satu per satu. Aku akan sangat tersanjung jika disajikan pemandangannya saat ia berteriak.

"HEI! Ada apa kau melihatmu terus seperti itu!?". Tanpa sadar sedari tadi aku melihati wajahnya sambil membayangkan hal itu. Dia yang tetap siaga dibelakangku, mengawalku untuk pergi ke tempat introgasi tersebut. Aku dapat merasakan hawa tubuhnya di belakangku yang menghangat. Yang membuatnya berkeringat. Jika berduel, aku yakin 100% dapat menang!.

Pintu dibuka. Meja persegi panjang terlentang di hadapanku menyambutku saat mulai memasuki ruang introgasi. Seorang pria dengan rambut klimis mempersilahkan – ku duduk di seberangnya. Disampingnya, ada Lelaki berkacamata dengan seragam dokter yang membawa papan dengan kertas catatan menempel diatasnya.

Saat ini, kami hanya dibatasi meja. Entah bagaimana perasaan petugas keamanan tadi setelah selamat mengantarku.

Sejenak aku berfikir jika di ruang tertutup ini, senjataku sangat mujarab, karena borgol logam ini jelas akan melukai tepat di pelipisnya. Karena keuntunganku, tanganku diborgol dari sisi depan. Jadi aku bisa leluasa mengayunkan tanganku kemanapun.

Aku dapat menebak, bahwa setelah mengucur darah pelipisnya   ia akan pusing dan memeganginya. Dan, aku ingin melihat sesuatu lagi yang dapat ku serang. Yaitu bagian—

“Baik, Selamat siang saudara Alwi. Saya Inspektur Nathan, dan disamping saya adalah dokter Rafly. Salam kenal. Kuharap anda sudah mempersiapkan jawaban cemerlang mengingat ini menentukan hidup dan mati anda. Ini nantinya akan menentukan hukuman anda... .”.

“Lucu ya!. Di ruang sempit yang kalian berikan, aku tidak bisa mengenali mana malam dan mana cerah. Bahkan setiap hari terang bagiku oleh lampu - lampu itu.”

“maaf, tapi bukan ini yang akan saya bahas. Mohon kerja sama anda!” Sahut Inspektur Nathan.

“boleh aku mengajukan pertanyaan? Apakah kau tau kenapa kau bisa sebut ini siang, sehingga kau mengucapkan selamat pada - ku?. Karena kau masih dapat menbuka matamu dengan bebas. Mengendalikan hak mu sesukamu.”.

Inspektur itu mulai serius mendengarkanku. Pun juga dokter Rafly.

“Bagaimana jika seluruh indramu diberi perintah oleh orang lain?. Itulah sebabnya mengapa aku berakhir disini!. Aku membela apa yang menjadi milikku. Aku bukan orang cacat! Seluruh anggota tubuhku ini milikku, inspektur! Aku hanya membela.... !”.

Wajahnya semakin serius. “Jadi bisa kau ceritakan saja kepadaku bagaimana hal yang kau maksud tadi? ”

berawal dari masa kecilku....

Aku terlahir di keluarga yang cukup kaya. Ayahku memiliki perusahaan tekstil yang cukup terkenal di Surabaya. Namun, ayahku tidak pernah pulang tepat waktu. Ia selalu pulang malam dan berangkat lagi di esok paginya. Hanya ibu yang mendidikku sejak dini. Ibu orang yang penyabar dan sering memanjakanku. Ia tidak pernah sekali, pun marah padaku.

Hanya hari minggu yang akan terasa sangat menjengkelkan. Ayah libur. Ia akan beristirahat di rumah dan akan bangun dengan keadaan stres di siangnya.

“Kenapa kerjamu hanya bermain saja!”, teriak Ayah disuatu siang.

“lihat lantai ini! Basah semua setelah kau mandi! Kenapa kau tidak pernah berfikir? Udang saja punya otak!”, sambil berjalan ke arah luar.

Aku yang menangis dipeluk oleh ibu. “sudah, lain kali keringkan dulu badanmu, baru keluar kamar mandi, sayang”.

Dan sifat tempramen ayah menjadi lebih parah saat aku menginjak bangku sekolah.

“Bu, jam berapa ini? Anakmu tidak sekolah?”.
“hmm..tadi sudah ku bangunkan tapi ngga tahu yah. Sepertinya tidur lagi.”.

CEKRIETT...

Pintu kamarku terbuka. Aku yang masih setengah tidur dapat mendengarnya.

“Hey bedebah!! Jangan menghamburkan uang kalau kau tidak ingin sekolah!” sambil disiramnya air yang ada di meja tidurku.

Aku yang kaget, spontan  melantunkan kata – kata acak “Dasar bajingan! Kenapa kau selalu menggangguku!.”

“Hebat sekali kosa katamu!. Sudah merasa hebat kau, anak SMP?.” Sambil mencengkram baju tidurku, ia menarikku keluar dari atas tempat tidur.

Aku hampir terjatuh lalu ditariknya bajuku sehingga aku ikut berdiri,sementara tangan satunya mulai memukuli wajahku. Bertubi – tubi tinjunya menghujani wajahku. Mataku mulai terasa bengkak, dahiku mulai meneteskan darah, hidungku mimisan berat.

“Rasakan ini sialan! Kau tidak pernah berguna di rumah! Kau juga tidak bisa menghasilkan uang! Jadi diam saja tidak usah banyak gaya!”.

Pemukulan itu terhenti setelah ibu datang dan menarik ayah sambil memohon agar berhenti memukuliku. Aku tersungkur menahan sakit dan menangis sejadinya.

Ayah keluar dari kamarku sambil berteriak “Syukur kau masih hidup, jadi lebih puas aku menyiksamu besok”

“Menyiksa”. Kata – kata itu seolah membuka pikiran bawah sadarku. Terbayang – bayang bagaimana jeritan ayah jika kusiksa dengan pisau yang ku tancapkan di lengannya, hingga ballpoint ayah di sakunya yang akan ku ambil untuk memberi pola lubang di pipi ayah. Betapa indahnya darah yang akan keluar di sekujur tubuhnya.

Tangisku lantas terhenti. Wajahku yang lebam dan dahiku yang berdarah tak terasa lagi. Angan – anganku seakan menghiburku —

“Sudah, nak. Jangan dipikirkan. Mungkin ayah hanya ingin mendidikmu menjadi prajurit yang kuat!. Kau harus kuat, agar bisa menjadi seorang prajurit bagi keluarga ini.”, hibur ibu yang duduk di sampingku yang sedang tersungkur.

“Ya... Menjadi prajurit. Itu tidak buruk. Aku tidak akan mengecewakanmu, Yah! Tunggu aku.” Gumamku dalam hati. “Yasudah, ayo cepat siap – siap. Nanti kamu terlambat.”
Aku benar – benar ingin menjadi prajurit ayah sejak saat itu. Terimakasih, ayah.

Daif : Seperti Disabilitas [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang