SOSOK LAIN

72 5 4
                                    

“kau tidak apa – apa, wi?” tanya Rasya setelah komplotan itu meninggalkanku.

Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Aku memegangi perutku yang sedari tadi membuat nafasku sesak. Pandanganku mulai buram. Aku hampir pingsan kala itu.

Sekejap, semua kembali seperti semula setelah aku melihat pakaian olahraga Rasya. Entah kenapa aku berhalusinasi saat melihat pakaian putih polos dengan logo sekolahku di dada kiri itu.

Semua gelap.

“HEY! SIAPA DISANA” belum sempat ia mendapat jawaban, aku merasakan tanganku kuat menggenggam sebuah tongkat.

TUAKKK...

Mati kalian semua!

“Woi! Kau sedang melamunkan apa!” teriak Rasya menyadarkanku yang ternyata sedari tadi diam melihat bajunya.

“Ayo bel sudah berbunyi. Kita harus cepat ke lapangan!” ajaknya sembari menggandeng tanganku.

*****

Kami datang di lapangan tepat waktu untuk jam olahraga. Aku memang anak yang lemah dalam hal olahraga karena nafasku mudah sekali ngos – ngosan. Sedangkan, kedua kakiku juga memiliki kelainan. Kakiku berbentuk X, jadi sulit bagiku untuk berlari dengan cepat. Maka dari itu, teman teman sering memanggilku “si silang”. Bukan sapaan keakraban menurutku, karena mereka sengaja merendahkanku hanya karena aku anak yang pendiam di kelas dan sangat mudah dijadikan pesuruh mereka.

Tiba akhirnya guru kami, Pak Tian. Beliau adalah seorang guru olahraga dengan badan yang kekar karena riwayatnya yang mantan atlit gulat. Ia memiliki rambut pelontos karena ia sering merasa terganggu dengan rambutnya yang panjang.

Siang itu, ia membawakan sebuah tongkat kasti dan 2 bola. Kami yang telah melakukan pemanasan dengan dipimpin Rasya. Kami telah menebak bahwa materi kali ini adalah permainan kasti. Beberapa murid nampak tidak sabar.

Seorang murid mulai berbicara, “Ayo segera kita mulai pak! Namun kalau bisa, si pincang ini jangan ikut, Pak. Takutnya malah patah lalu berganti jadi kaki L”
Sukses perkataan itu membuat tawa seluruh murid di lapangan, termasuk Rasya.

Aku merasa sangat kesal, namun bersemangat. Bersemangat karena ini adalah kasti. Olahraga yang menggunakan tangan untuk memukul dan mata untuk melihat. Edo, anak yang melontarkan perkataan itu, menurutku anak berkacamata yang terlalu banyak berbicara. Aku sangat bersemangat mengembalikan jumlah matanya kembali menjadi 2.

“apa kau lihat – lihat? Mau ku sliding tackle kaki mu? Dasar pincang!” teriakan Edo membuyarkan lamunanku

sial sudah 2x hari ini aku melamun”gerutuku dalam hati setelah sedari tadi memandanginya dengan tatapan kosong.

“sudah – sudah. Edo kamu jangan berkata seperti itu. Itu tidak baik!” Omel pak Tian kepadanya.

****

Permainan pun dimulai. Aku, Rasya dan Edo menjadi rekan setim bersama beberapa murid lain. Pukulan Rasya adalah pembuka yang baik. Ia pun berhasil menempati base 2. Karena aku tidak jago berlari, teman – teman selalu memintaku menjadi pelempar. Dalam setiap pertemuan mengasah kemampuan melemparku menjadi semakin baik. Kami sempat unggul 5 poin sampai tiba saat bajingan itu untuk memukul.

“Hei bodoh, lempar yang benar. Yang cacat kakimu kan? HAHA... ”

Ia sangat cerewet untuk mulutnya yang tipis itu. Dia mengambil tongkat kasti dan memasang posisi memukul. Aku melempar dengan tidak sadar. Bola hijau melambung dengan cepat. Pemukul amatir tidak akan sanggup memukulnya. Bola lambung itu dengan kilatnya, sukses mengenai kacamata Edo hingga retak dan jatuh. Itu merupakan ketidak sengajaan yang luar biasa. Aku bahkan tidak tahu bahwa lemparanku setepat itu.

Ia langsung ditanyai oleh Pak Tian sembari mengaduh. Ia berkata bahwa tanpa kacamata, pandangannya kabur saat melihat jarak jauh, namun ia ingin bertukar denganku menjadi pelempar.

Dilain posisi, aku mencoba hal baru, memukul. Edo sebagai pelempar, bersiap melempar bola kepadaku. Ia melambungkan bola dengan sangat baik yang di sambut dengan pukulanku. Namun, pukulanku malah menyasar tepat ke wajah Edo. Sekali lagi aku melukai wajahnya hingga timbul bekas biru diantara matanya. Aku meminta maaf karena itu kepadanya dan juga pada Pak Tian. Beliau sesaat menegurku untuk berhati - hati dalam memukul. Namun, cukup puas karena teman – teman berbalik menertawai Edo.

Selama pertandingan, tim kami cukup kesulitan semenjak aku menjadi pemukul. Teman – teman berulang kali menyalahkan ku yang tidak mahir memukul.

Rasya juga. Urusan olahraga, ia sangat sensitif. Berhasilnya aku membawa kegagalan bagi tim membuat rasya menggerutu. Ia berulang kali menyalahkanku dan mengomeliku, padahal Pak Tian sudah bilang bahwa ini hanya permainan.

Tim kami kalah di laga siang itu.

Yang membuatku terheran, bagaimana mungkin Rasya dapat begitu kesal kepadaku. Padahal ini hanyalah sebuah permainan. Ia bahkan bersikap acuh dan menunjukkan wajah murka selama permainan tadi karena aku. Padahal aku selalu saja membantunya saat pelajaran lain. Namun siang ini, ia justru menunjukan sikap tidak tahu terima kasih. Bahkan aku tidak pernah mengeluh seperti ini saat ia memohon bantuanku.

“Baik, jam pelajaran selesai. Segera berganti pakaian dan tolong salah satu dari kalian mengembalikan tongkat dan bola kasti ini ke gudang sekolah.” Perintah Pak Tian kepada kami semua yang juga menjadi isyarat bahwa kami harus segera kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran

“Alwi aja tuh, kembalikan sana ke gudang!” perintah Edo memprovokasi

“Iya, wi. Kau saja yang mengembalikan. Kau kan yang membuat kita kalah.” Tambah Rasya.

“Tapi kan, memang aku tidak bisa berlari sekencang kalian.” Jawabku.

“Sudahlah. Kau ini dasar orang lemah!” Perintah Rasya sembari meninggalkan lapangan seorang diri diikuti dengan tatapan seluruh siswa kepada kami atas pertengkaran kecil itu.

Aku merasa sangat malu, disamping aku yang memang tidak bisa sejago anak lain, Rasya juga tidak membelaku siang itu saat Edo merendahkanku.
Aku sangat kesal.

Rasya harusnya tahu bahwa dia tidak berguna selama di kelas.

Sesuatu dalam diriku terus menggema. Mengantarkan ku perlahan menuju gudang. Alunan seseorang dalam pikiranku terus berorasi.

Rasya perlu belajar mengontrol emosi. Setidaknya mulutnya. Atau, perlu mungkin dibuka selebar bola kasti agar tahu perlunya diam.

Aku melewati lorong kelas 1. Lanjut melewati lorong dekat ruang guru. Gudang tinggal sebentar lagi.

Aku tidak peduli pada Edo. Dia terlalu bodoh jika mencari lawan. Namun selamat Edo. Rasya bisa jatuh di pihakmu.

Rasya harus tahu siapa Tuannya. Rasya harus tahu sebuah cacat. Rasya bisa menjadi juara Karate berkat kaki. Normal. Tanpa kecacatan. Atau mungkin, perlu kita modifikasi sedikit agar ia belajar mengemis dijalanan mengharap iba orang – orang?.

Aku sampai di Gudang.

Daif : Seperti Disabilitas [On Going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang