TARAS: Aras, Perempuan Pribumi

223 58 41
                                    

~Jika cintaku menjadi pengkhianatan bagi bangsaku, setidaknya aku ingin mengecapnya barang sejenak~

—TARAS: di Ambang Batas—
Stief.AN Ran/@BaekStie26

***

TUJUH hari dalam penantian. Matahari kini telah kembali ke peraduannya dan ia masih saja berharap pada orang yang berucap akan sering bersua dengannya. Agaknya di mana pemuda Asia itu sekarang? Pertanyaan itu selalu mampir dalam benaknya, mengisi penuh sanubarinya.

Aras menghela napas dalam. Benar, ia bodoh karena terlalu berharap pada seseorang yang juga bagian dari mereka, orang-orang jahat yang mengambil keuntungan dari Ibu Pertiwi. Aras tiada pernah berpikir jika pertemuan pertamanya dengan pemuda berkebangsaan Jepang itu akan membuatnya berpikir amat keras sedemikian rupa.

“Aras? Kau baik-baik saja?” Lagi-lagi Tejo menegur, menanyakan keadaan Aras yang entah sudah berapa kali dalam sehari ia tanyakan.

Aras menggeleng pelan dan tersenyum kaku. Ia bukanlah perempuan yang pandai berekspresi atau pandai berdusta sehingga kerap kali Tejo tahu ia tengah berdusta. Namun, pria pribumi itu tiada banyak berkata, ia tahu Aras punya masalahnya sendiri.

“Aras, berapa umurmu?” Tejo bertanya tiba-tiba, tetapi tiada maksud tersembunyi apa pun.

“Aku tidak begitu ingat. Mungkin delapan belas tahun.”

Tejo sedikit terperanjat, pria itu pasti tak menyangka jika Aras masih sangat belia. Tidak sepertinya yang sudah memasuki kepala dua, bahkan tahun ini ia genap berusia dua puluh lima tahun dan mengingat usianya yang memang sudah matang membuat cara berpikirnya terasa lebih dewasa. Tejo kasihan pada Aras. Tidak, ia kasihan pada semua pribumi yang diperlakukan semena-mena oleh kolonialis. Ibu Pertiwi telah lama menderita karenanya dan Tejo bersumpah takkan pernah menerima semua ini.

Suatu saat, ia ingin melawan penjajah dengan segenap kekuatan yang ia miliki, kendatipun ia harus berakhir merenggang nyawa di medan pertempuran, setidaknya ia berani menantang mereka ketimbang mati sebagai budak dari bangsa lain. Sungguh Tejo tiada terima itu semua.

“Kau lebih tua dariku, bukan?” tanya Aras sambil memperhatikan gurat lelah di wajah Tejo. Mereka kini telah kembali ke dalam penjara kayu menyesakkan itu. Namun, sepertinya Aras telah terbiasa dengan semua ini. Bahkan ia mulai yakin jika dulu mungkin saja ia pernah mengalami hal yang sama. Rasa sakit dan penderitaan agaknya telah melekat dalam dirinya.

“Ya, usiaku dua puluh lima tahun, tetapi kau tak usah terlalu formal denganku.”

Aras mengangguk singkat dan memperhatikan langit malam yang tiada berhias bintang satu pun dengan cahaya rembulan remang-remang membuat malam kali ini pun terasa begitu sunyi dan kelam. Hanya suara jangkriklah yang menusuk indra pendengarannya. Mata Aras tak mau menutup, belum merasakan kantuk sungguhpun tenaganya telah terkuras habis untuk mencangkul dan mengangkut bongkahan batu dalam jumlah yang tak sedikit.

Mendadak tubuhnya menggigil, merasakan angin malam menyapu bulu romanya. Aras bersin beberapa kali membuat Tejo khawatir jika perempuan kurus itu terkena flu. Ia ingin membantu, tetapi tak ada sehelai kain pun yang bisa ia sumbangkan sebagai penghangat tubuh Aras.

“Aras, mendekatlah.”

Mendengar bisikan Tejo, Aras pun lekas-lekas mendekat pada Tejo dan tanpa disangka-sangka, Tejo memeluknya erat, menyalurkan panas tubuhnya pada Aras yang menggigil kedinginan. Diam-diam Aras tersenyum, pria yang tengah memeluknya ini sungguhlah pria yang baik hati. Aras amat bersyukur bisa bertemu dengan Tejo.

“Aras, apa yang membuatmu gusar?” Tejo menepuk punggung Aras beberapa kali dan mengistirahatkan dagunya di atas pucuk kepala perempuan pribumi itu. “Aku tahu. Kau tak perlu bersusah hati. Aku ada di sini untuk menjagamu, jadi tenanglah.”

ᴛᴀʀᴀꜱ: ᴅɪ ᴀᴍʙᴀɴɢ ʙᴀᴛᴀꜱ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang