~Rasa sakit dan kerinduan dalam dadaku adalah sebuah rasa paling menyiksa seumur hidup~
—TARAS: di Ambang Batas—
Stief.AN Ran/@BaekStie26***
MATAKU tiada henti-hentinya hilir mudik memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di Kota Batavia hari ini. Seperti biasa, mereka semua berseragam militer lengkap sembari membawa senapan Arisaka dengan sebuah katana yang terselip rapi di sebelah kiri pinggang mereka.
Mereka adalah tentara Jepang atau biasa disebut tentara Dai Nippon yang ditugaskan untuk mengawasi dan menindas kami, manusia malang yang dipaksa bekerja membangun kubu pertahanan demi keperluan militer Jepang. Aku benci, menolak takdir Tuhan, tetapi tiada hal yang bisa kulakukan selain menuruti semua perintah mereka. Barangkali aku tak ingin mati sebelum mendapatkan keadilan yang dijauhkan dari dunia ini.
Seorang pekerja lain menegurku, menyuruhku untuk lekas bekerja ketimbang melamun memikirkan kemasygulan hidupku. Namun, aku pun patut bersyukur karena tak dijadikan jugun ianfu atau wanita penghibur oleh mereka, manusia kelaparan yang menjijikkan. Mereka pun barangkali tak sudi sekadar menatap perempuan kurus kering seperti diriku.
“KAU BISA BEKERJA DENGAN BENAR TIDAK?”
Aku terperanjat ketika mendengar suara teriakan seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Jepang yang kental. Tidak salah lagi, ia adalah seorang tentara Dai Nippon yang bertugas menyiksa kami hingga titik darah penghabisan. Yang lain pun tak berani berkutik dan membiarkannya berlalu seperti hari-hari sebelumnya.
Lagi-lagi aku menghela napas dan meraba perutku yang keroncongan. Sudah genap dua hari aku tak memasukkan satu pun makanan ke dalam mulutku yang kini terasa pahit. Rasa letih dan penat berkepanjangan seperti penghias hari-hariku yang terasa begitu berantakan. Cuaca panas pun turut andil dalam menyengsarakan semua pekerja di sini.
Dunia ini ... apakah masih ada harapan untuk mencapai kebebasan yang kudamba?
Tiba-tiba seseorang menyenggol bahuku, membuatku yang baru saja tersadar dari lamunan kehilangan keseimbangan dan berakhir menghantam tanah gersang bertabur batu kerikil. Aku meringis, tak kuat berteriak keras lantaran sudah terlalu banyak kehilangan tenaga.
Melihat aku yang terjerembab ke tanah, seorang tentara Dai Nippon lekas saja menghampiriku. Aku mengutuk dalam hati. Ia pasti akan menikamku dengan kata-kata pedas atau setidaknya mendaratkan beberapa tendangan ke tubuh ringkihku karena tak becus dalam bekerja. Alangkah sialnya aku hari ini.
“M–maafkan sa–saya,” ucapku terbata-bata sambil menunduk dalam tak berani menatapnya.
Kurasakan kini ia berjongkok di sebelahku dan dengan tangan besarnya, ia menepuk pelan bahuku, membuat atensiku seratus persen beralih padanya. Aku tertegun sembari menatap bola mata biru cerahnya yang sangat kontras dengan mata cekungku. Aku membeku beberapa detik dalam pertemuan mendebarkan ini dan ia lantas saja menerbitkan seulas senyuman padaku.
“Kau baik-baik saja?”
Aku terkejut ketika ia bisa dengan fasih melafalkan bahasa Indonesia. Tanpa banyak berkata, ia menopangku untuk berdiri dan menyerahkan sesuatu ke dalam genggamanku. Tiba-tiba ia mendekatkan kepalanya pada telingaku dan berbisik pelan,
“Aku akan selalu mengawasimu, Aras.”
Setelahnya ia pergi, meninggalkanku yang tak tahu harus berekspresi macam apa. Aku memperhatikan ubi rebus yang ia letakkan dalam genggamanku. Hangat. Aku kembali menatap ke arah kepergiannya dan menitikkan air mata entah karena euforia yang membuncah sebab menyadari bahwasanya masih ada orang baik seperti dirinya atau karena sebuah kemasygulan yang tak kumengerti maksudnya sedari dulu.
“Tentara Dai Nippon itu ... dia berbeda.”
Aku menggenggam erat ubi rebus yang sekarang sudah tak hangat lagi. Ada semacam perasaan tak terlukiskan hinggap di dalam sanubariku, perasaan yang perlahan mengakar dan mengurat dalam diriku. Bolehkah setidaknya aku berharap dari kebaikan kecil yang ia berikan hari ini?
Kumohon Tuhan, setidaknya sekali dalam seumur hidupku, biarkanlah aku memperjuangkan suatu hal yang layak dalam dunia yang telah terdistorsi ini. Dalam pertemuan pertama ini, debaran di jantungku yang hampir saja mematahkan seluruh tulang rusukku menjadi saksi bisu terbitnya perasaan lain dalam diriku.
Aku Aras, perempuan pribumi berusia delapan belas tahun yang jatuh hati pada seorang tentara Dai Nippon dengan harapan bahwa rasa ini bukanlah suatu bentuk pengkhianatan terhadap Ibu Pertiwi.
***
Continued to TARAS: Taka, Tentara Dai Nippon
CAST:
MASAKI SUDA AS TAKA YAMAMOTO
NANA KOMATSU AS ARASMei, 2020
Stief.AN Ran
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴛᴀʀᴀꜱ: ᴅɪ ᴀᴍʙᴀɴɢ ʙᴀᴛᴀꜱ ✔
Fiksi Sejarah[Pemenang program terbit gratis Alinea Publishing kategori Fiksi Sejarah] Perang Dunia ke-2 masih terus berkobar dan 1942 adalah tahun di mana Hindia Belanda terjerat dalam kekejaman Jepang yang memorakporandakan hidup Aras, perempuan pribumi yang d...