manis

8 1 0
                                    

peluit dibunyikan dan pertandingan mulai berjalan. Bagas menggocek bola dengan sangat handal, begitupun teman-teman tim nya yang memiliki kerja sama yang baik. tapi jangan main-main dengan lawannya. mereka juga jago. sangat jago malah. beberapa kali Bagas gagal merebut bola dan hampir marah ketika lawannya berhasil membobol gawangnya.

penonton bersorak. satu poin untuk tim lawan. Bagas menyemangati tim nya untuk lebih hati-hati dan semangat lagi. ramai penonton tidak ragu untuk meneriaki masing-masing nama pemain. dan nama yang sering diteriaki, adalah Bagas. huh mengapa bukan Gilang, Wira atau yang lainnya? mengapa harus Bagas? aku tahu Bagas adalah kaptennya. permainannya juga keren. terlebih ia memiliki wajah tampan dan manis, tidak heran kalau penonton yang didominasi kaum hawa itu selalu meneriaki namanya.

aku jadi bete sendiri.

Bagas kembali melakukan gocekan. mengoper pada kawannya dan berlarian untuk memasukan bola itu kedalam gawang lawan. aku menatap pergerakan Bagas yang lincah dan kakinya yang mempertahankan bola itu hingga akhirnya berhasil mamasukinya kedalam gawang lawan. aku memekik tertahan. suaraku kalah dengan para perempuan bersuara cempreng itu.

Bagas menatap kearah ku dan menggerakan kedua tangannya yang terkepal diudara. aku membalas dengan satu jempol.

"lo liat gak tadi, Bagas natap kearah gue." ujar salah seorang perempuan disampingku. aku menoleh.
"ih dia itu natap gue tahu, enak aja." tukas perempuan satu lagi yang tidak lain adalah temannya, mungkin.
"heh jangan geer, jelas-jelas matanya itu kearah gue."

aku menggelengkan kepalanya. mereka berdua sama-sama geer. orang Bagas natapnya ke arah aku.

peluit tanda istirahat pertama telah dibunyikan. kedua kubu mulai berjalan kepinggir lapangan untuk beristirahat sebentar dan menyiasatkan strategi, dilihat dari para pelatih mereka yang menghampiri. aku turun dari tempat duduk penonton dan berniat untuk menghampiri Bagas. aku membelikan minum untuknya tadi.

"Ba-"

baru saja aku hendak menyapa nya, seseorang lebih dulu memanggil Bagas dari arah belakang. aku menoleh, seorang perempuan. apa itu Mody?

gadis itu menghampiri tim Bagas, tepatnya menghampiri Bagas yang baru selesai diberi arahan oleh pelatih mereka.

"eh Mody? lo dateng?"
"iya, Gas. maaf ya aku telat soalnya tadi ada urusan."
"iyaiya gak papa lagi, makasih ya udah dateng." Bagas tersenyum. aku kesal.

"nih aku beliin minum buat kamu." Bagas mengambil minuman dingin dari tangan Mody. aku menatap minuman ditanganku. sepertinya ia sudah tidak butuh. aku membalikan tubuhku dan mendapati Wira.

"Denis? lo ngapain disini? mau nyamperin Bagas ya?"
"hm anu-"
"yaudah ayo gua anterin." belum sempat aku menolak, Wira sudah lebih dulu menggiringku pada Bagas. aku harus apa ni?

"Gas, nih anak orang."
"eh, Den kenapa?" aku nampak menimang. apa aku kasih saja minuman ini? tapi.. "Denis? itu minuman buat gue ya?"

"enggak Gas, ini untuk Gilang." mereka sama-sama hah serempak. akupun sama kagetnya dengan apa yang barusan ku ucapkan.

"buat Gue, Den?" Gilang menghampiriku. aku mengangguk dan memberikan botol berisi minuman ion itu padanya.
"wih makasih banyak ya, Den. baru kali ini gue dikasih minum pas tanding." aku mengangguk lagi. Bagas menatapku datar. aku membuang pandanganku pada arah lain.

"yaudah kalo gitu, aku balik lagi ya. Gilang minumnya dihabisin ya.."
"siap Den." aku meninggalkan mereka tanpa menatap Bagas sedikitpun.

"itu siapa si Gas?" tanya Mody.
"Denis." Mody nampak mengangguk dan tidak bertanya lagi.

aku kembali duduk dibangku penonton seperti tadi. bisa dilihat dari sini Bagas dan Mody nampak mengobrol asik. aku meremas ujung kaos ku, kebiasaanku kalau tengah kesal. mengapa aku sekesal ini? apa aku cemburu? tidak, tidak. itu tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin.

peluit tanda permainan kembali dimulai berbunyi nyaring. masing-masing kubu bersiap untuk segera melakukan penyerangan. kedua kapten masing-masing tim berada ditengah lapangan untum memulainya.

kedudukan satu poin untuk masing-masing tim. bola sudah sudah menggelinding kesana kemari. Bagas berhasil bertahan. ia mengoper pada Wira, lalu Wira mengoper pada yang lainnya dan kembali pada Bagas. mereka benar-benar jago dalam hal ini. aku jadi iri. dari kecil aku ingin sekali main bola tapi mama tidak pernah mengizinkannya. bahkan untuk menontonnya saja, mama akan marah entah apa alasannya. mama tidak pernah memberitahu. beruntung sekali mereka yang diberikan izin begitu saja tidak seperti ku.

BUK!

bola dari arah lawan hilang kendali, dan mengenai tepat dikepala ku. tidak, ia mengenai hidungku. rasanya sakit sekali. dapat kurasakan darah segar mengalir bebas keluar dari sana. para penonton juga para pemain menatap kaget kearahku. kepalaku berdenyut, semua nampak buram. samar-samar kudengar suara Bagas yang memanggil-manggil namaku sebelum semua penglihatanku direbut paksa oleh kegelapan.

***

aku mengerjapkan mata berkali-kali. awalnya buram tapi lama kelamaan mulai terbiasa. aku meringis. kepalaku pusing sekali, hidungku terasa berdenyut. aku mengedarkan pandanganku. ini dimana?

seseorang membuka pintu. itu Bagas. ia terlonjak ketika melihatku sudah bangun.

"lo gak papa Den? mana yang sakit? hidung nya ya? mana Den, biar gue obatin." aku terkekeh melihat kepanikan Bagas yang menurutku sangat lucu.

"aku gak papa, Gas. cuma agak pusing aja."
"beneran? tapi tadi idung lo ngeluarin darah banyak banget sampe netes sana-sini."
"maaf ya Gas udah bikin khawatir."
"harusnya gue yang minta maaf sama lo. kalo aja gue gak ngajak lo nonton, mungkin lo gak bakal kena bola gini." kami sama-sama terdiam. dahiku mengernyit.

"pipi kamu kenapa? kok lebam?" Bagas lantas memegang pipinya.
"eh gak papa kok, Den."
"berantem ya?" Bagas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "aku itu gak papa Gas, kamu gak perlu sampe berantem. aku gak mau cuma gara-gara aku, kamu jadi ikutan luka kayak gitu."

"gak papa Den. lagian gue emang udah lama kesel banget sama si Anggo itu, mainnya kasar."
"Anggo?"
"iya. yang tadi nendang bola nya kenceng banget sampe kena kepala lo." aku mengangguk.

aku meminta Bagas mendekat. ia menurut. aku mengambil kotak p3k yang diletakan diatas meja.

"luka kamu ini harus cepet diobatin, kalo gak, bisa bengkak." aku mengambil satu buah kapas dan menyiramnya dengan sedikit alkohol.

"deketan sini." Bagas tidak menolak. ia duduk menghadapku, membuatku lebih mudah menggapai pipinya.

ia meringis ketika kapasku menyentuh permukaan lukanya.

"pelan-pelan Den."
"ini udah pelan banget, Gas." aku mengganti kapas dengan yang masih baru dan menuangkan betadine lalu kembali mengoleskannya pada pipi Bagas.

kini wajah kami sangatlah dekat. aku dapat melihat indahnya karya Tuhan pada wajah Bagas. alis tebal, hidung mancung, bulu mata lentik dan bibir nya yang cukup berisi. aku menghentikan pergerakan tanganku. Bagas masih memejamkan matanya. jantungku berdegub sangat kencang tatkala wajahku mulai mendekati wajahnya.

kalian pikir aku akan ngapain? menciumnya? haha ya jelas tidak. aku hanya berniat meniupkan lukanya. mungkin Bagas merasakan hembusan nafasku lalu ia membuka matanya. mata kami bertemu. dengan jarak sedekat ini, wajahnya nampak buram. namun tidak mengurangi kekagumanku padanya. aku tak berkedip, pun dengan Bagas. ia sama sekali tidak mengatakan hal apapun, dan aku kembali meniupkan lukanya.

"Den,"
"iya?"
"lo cantik,"
"hah?"
"hm m-maksud gue lo ganteng. eh hm argghh." aku tersenyum. "nah itu maksud gue."
"apa?" Bagas ikut tersenyum dan kembali menatap mataku dalam-dalam.

"lo manis. senyum lo manis."

[]

duh duh gimana-gimana? wkwk. ada yang udah baper? atau masi stay normal? oke, saya bakal bikin kalian nyer-nyeran nanti hahaha /ketawa jahad.

jangan lupa untuk vote dan komen, dengan begitu kamu menghargai karya saya. thankyou.

dadah bye [^^]

beautiful disasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang