Laika Dan (T)uhannya

105 4 1
                                    

Setiap sudut kota telah Laika sambangi demi menemukan tuhannya. Telapak kakinya yang dulu elok kini terbelah, pecah berdarah-darah. Namun, tak menyurutkan langkah wanita bergincu merah menyala itu sedikit pun. Gumpalan amarah di liang dada membuatnya kebas terhadap segala rasa.

Derita bertahun lalu telah mengajarkan Laika bagaimana menelan rasa sakit tanpa mengeluh. Hujan jutaan anak panah yang melesat langsung ke ulu hatinya, tatkala melihat cumbu beringas sang suami dengan wanita yang ia sebut ibu, hanya menyisakan setitik saja cahaya di jiwa Laika. Setitik cahaya yang kemudian padam seluruhnya oleh tipu daya seorang lelaki yang sempat memupuk harapan tentang kebahagiaan bersama.

Mulut manis lelaki itu dengan mudah menyusup ke dalam diri Laika yang tengah terluka. Memberi impian yang menelanjangi angannya hingga jatuh terperosok ke dalam rencana busuk si Budak Nafsu. Laika semringah menyandang status permaisuri dari seorang raja, yang tanpa ia tahu dirinya hanyalah selir kesekian.

Penguasa Waktu jelas bertumpu pada aturannya, bahwa tak ada rahasia yang akan bertahan di hadapan Sang Waktu. Permaisuri yang sebenar-benar pemilik tahta akhirnya tahu, dan dengan garang menyeret Laika. Menjadikannya tontonan, bintang dari sebuah parade penyiksaan. Ia ditelanjangi dan diarak keliling kampung. Menerima tatapan kebencian dan hujan caci maki yang tak terhingga.

Laika teronggok di parit berbau busuk, tapi tak lebih busuk dari bau bangkai jiwanya yang telah mati. Ia tenggelam dan meringkuk di dasar laut keterpurukkan yang paling gelap. Di sana ia menemukan tumpukan sampah deritanya sudah membentuk gunungan tinggi, berbelatung, juga menguarkan bau menyengat yang seolah-olah menyeruak dari setiap pori-pori tubuh wanita berusia tiga setengah dasawarsa itu.

Tak ada air mata, hanya kemarahan yang tersisa di diri Laika pada ketidakadilan Tuhan. Setelah penghambaan dan kepatuhannya selama ini, justru pengkhianatan yang ia dapat. Rajutan kusut benang takdir yang selalu menyulam kehidupannya pada penderitaan. Sungguh Tuhan telah ingkar pada janji-Nya.

Laika melolong seperti serigala kelaparan. Ia lalu bangkit tertatih menahan nyeri pasungan luka dan memar di sekujur tubuh. “Kau!” Ia tertawa menunjuk-nunjuk langit gelap. “Tunjukkan diriMu!” raungnya buas.

Laika tergelak, sungguh sebuah lelucon menghamba pada sesuatu yang bahkan terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Betapa kebodohan telah memenjarakannya selama ini. Ia meraung seraya menghempaskan diri di tanah, lalu mengerang merasakan hawa panas merangkak naik dari ulu hati ke tenggorokannya, menjalar ke setiap lubang di tubuhnya. Hidung, mata, mulut, kemaluan, bahkan pori-pori terkecil di kulitnya mulai mengeluarkan asap kelabu berbau busuk yang disusul lendir hitam pekat bercampur darah dan nanah.

Dari kombinasi itu, bangkit sesosok makhluk menjijikan berbau menyengat yang serta merta mengundang lalat-lalat mengerubuti kebusukannya. Laika bangkit tertatih, kemudian terbatuk-batuk dengan suara yang teramat memprihatinkan. Ia tatap makhluk tak berwajah di hadapannya. Gunungan lendir dengan dua lubang sebesar bola tenis yang gelap dan dalam seperti bingkai bola mata mengisi wajahnya. Cairan hitam pekat bercampur nanah dan darah yang berasap seolah panas, menetes-netes dari makhluk itu dan mengering ketika mendarat di tanah.

“Jadi padamu selama ini aku menghamba?” Sinis ditatapnya makhluk itu, lalu ia ludahi.

'Mungkin'. Sebuah jawaban berdengung di kepala Laika.

“Pantas saja kau tak pernah mau menampakkan diri! Menjijikan!”

Meski tak berwajah, Laika yakin tuhannya tengah menyeringai. Melempar sebuah olokan atas kebodohannya selama ini.

“Sekarang akulah penentu takdirku sendiri! Dan, kau!” Laika mengacungkan telunjuk pada tuhannya, “Kau akan bertekuk lutut, terpana pada keindahan benang takdir yang kurajut!”

Dengan gumpalan amarah Laika mulai memunguti benang demi benang dan merajut takdirnya sendiri. Ia bangkit dari keterpurukan melalui caranya yang sudah tak lagi mempedulikan salah dan benar. Jadilah ia primadona yang membuat para lelaki budak nafsu rela mengantri dan mengosongkan kantong mereka demi desahan, erangan, dan jeritan nakalnya.

Laika berada di puncak yang dalam setiap titian pijakannya ia mengolok tuhannya yang senantiasa mengekori. Ia tertawa puas dalam gelimang harta dan rintihan pengemis syahwat yang senantiasa menjilati kakinya.

Namun, tuhannya menghilang. Sehari, dua hari, hingga berganti minggu dan bulan. Laika berhenti tertawa, dan hanya bermuram durja.

Pada tuhannya ia mengejek di setiap rajutan benang yang tersimpul dengan sempurna. Lantas, pada siapa sekarang ia bisa tergelak puas jika tuhannya malah menghilang.

Langkah Laika terhenti menatap dirinya di kaca bening pertokoan. Ia menyadari sesuatu, tuhannya pastilah terlalu malu karena telah kalah. Laika sudah membuktikan dirinya lebih piawai merajut takdir. Sekarang, bahkan setiap barang yang disentuhnya menjadi sesuatu yang berharga, seperti daun kering yang menjadi serat-serat emas tatkala ia pungut dan sematkan di telinga.

Derai tawa meluncur dari bibir bergincu merah Laika. “Dasar pecundang!” umpatnya puas.

Noda merah tertinggal di sepanjang trotoar yang Laika lalui. Di belakangnya sekerumun bocah nakal mengiringi sambil bersorak dan tertawa-tawa. Namun, kemudian menghambur, berlarian tak tentu arah setiap kali Laika menoleh.

***

Pantomime: Live ParadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang