Gadis Pendosa

45 3 8
                                    

“Lepasin gue!” Sagira diseret melewati gang-gang sempit. Pergelangan tangannya dicengkram sangat kuat hingga ngilu ia rasakan.

Berkali-kali perempuan kurus tinggi itu mengaduh, karena tubuhnya menabrak tembok saat bertemu belokan tajam. Namun, tidak menghentikan Surya yang tengah dikuasai amarah.

Begitu sampai di depan rumah, Sagira dihempaskan hingga tersungkur nyaris mencium tanah. Ia lekas bangkit dan menatap Surya nyalang. “Lu kenapa!?” 

“Lu hamil, Agi!?” bentak Surya beringas.

Senyap. Sagira membisu menatap kerumunan orang yang entah sejak kapan menjadikannya tontonan. 

“Jawab!” Sebuah tamparan Surya daratkan di pipi Sagira.

“Sejak kapan lu peduli?” Sagira terkekeh sambil memegangi pipinya yang terasa panas. 

“Dasar anak sialan!” Amarah Surya semakin menjadi. Ia meraih potongan balok kayu yang tergeletak di dekat pagar, lalu dilayangkan ke tubuh Sagira yang tak sempat menghindar. 

Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu meringkuk berusaha menutupi wajah dan kepala, sementara hantaman demi hantaman menjajah tubuhnya. Tak ada jeritan, erangan, atau keluhan yang meluncur dari mulutnya. Sekuat tenaga ia menahan nyeri, karena deritanya hanya akan mengundang gelak tawa kegirangan orang-orang di sana. 

"Om, udah!" Windy berlari menghalangi tubuh Sagira dari amukkan Surya. 

"Minggir, Win!" Surya terengah. "Biar gue matiin dia!" tambahnya seraya menatap Windy, keponakannya.

"Itu gak akan selesein masalah, Om. Om mau masuk penjara?" sergah Windy. "Istighfar, Om!”

"Kali ini lu beruntung. Dasar anak sial!" Surya melempar balok kayunya sembarangan, kemudian berlalu diiringi sebuah dengkusan.

"Lu gak papa, Gi?" Windy meraih lengan Sagira, akan tetapi langsung ditepis dengan kasar. 

Sagira bangkit tertatih. Sekuat tenaga ia menahan diri  agar tidak meringis apalagi menangis tersebab rasa sakit di sekujur tubuh.  Tajam matanya menyisir kerumunan orang-orang, sarat kebencian. Hujan caci maki meluncur deras dari mulut mereka, seiring dengan tatapan jijik, seolah-olah Sagira benda busuk yang membuat mual.

"Dasar gak tau diri!"

"Anak pelacur gak bakal jauh-jauh dari kelakuan ibunya!" 

"Hamil dari 'om' yang mana lu, 'ayam'?"

Hinaan yang sudah biasa Sagira telan nyaris seumur hidupnya. Berdiri di antara pembenci yang menganggapnya sampah adalah sebuah ironi tak terelakkan. 

“Seneng lu semua?” Tawa Sagira meluncur begitu saja.

Dari kerumunan itu tiba-tiba Isa muncul, dan dengan tergesa menghampiri Sagira. "Lu gak papa, Gi?" tanyanya kemudian. 

Pria berkumis dan bercambang itu benar-benar khawatir. Menjadi saksi dari morat-marit kehidupan Sagira menelusupkan iba di hatinya. Iba yang kian waktu kian membuncah hingga berbuah rasa cinta. Sayang, Sagira memiliki pribadi yang sangat sulit diajak bicara, apalagi untuk didekati.

“Gi?”

“Minggir lu, Bang!” Sagira mendorong dada Isa, lalu melangkah membelah kerumunan yang masih menghujatnya. 

"Tunggu, Agi!" Windy mencengkram bahu Sagira.

“Jangan sentuh gue! Najis, tau lu!” Sagira melirik tangan putih mulus di bahunya.

"Mau sampe kapan lu kaya gini? Harusnya kelakuan nyokap lu gak lu tiru, Gi." Sendu Windy menatap Sagira yang enggan membalas tatapannya.

Kerumunan orang-orang kini menatap Windy penuh kekaguman. Anak dari keluarga terpandang, cantik, berpendidikan, dan rendah hati. Sagira mencebik malas. 

Pantomime: Live ParadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang