Bab 11

507 19 2
                                    


Sita menjatuhkan badannya di kursi pesawat. Usai lamaran Ardian hari itu, Sita langsung meminta cuti. Selain itu, dia meminta tolong Akbar untuk dipesankan tiket paling pagi ke Jogja. Sita kabur. Dia tidak tahu harus menjawab apa pada Ardian. Pengecut? Sepertinya tidak juga. Wajar jika Sita kebingungan, Ardian melamarnya saat dia sedang kesal. Apalagi lamarannya itu terasa sangat mendadak. Bukankah mereka harusnya melakukan pendekatan dulu?.

"Mau pulang ke Magelang?" Sita yang sedang melihat ke jendela pesawat mengangguk. Ia lalu menoleh untuk memberi salam pada orang yang akan duduk di sebelahnya. Air muka Sita langsung berubah saat melihat siapa di sebelahnya. Bisa-bisanya dia tidak mengenali suara yang bertanya tadi.

"Pak Ardian kok bisa ada di sini?"

"Ikut kamu ke Magelang. Mau ketemu orang tua kamu sekalian."

"Gimana caranya bisa duduk di sebelah saya?"

Ardian tertawa. Mungkin menertawakan wajah Sita yang kebingungan. "Kamu kan minta tolong sama Akbar, ya jelas Akbar ngomong sama saya.

"Bapak tuh bisa saya tuntut, lho! Bapak nggak takut dianggap penguntit?"

"Penguntit? Serem amat. Kenapa sih sekaget itu? Kamu pulang karena mau menghindar dari saya, ya?"

Sita berdecak kesal. Sudah tahu malah nanya. Awalnya Sita menolak habis-habisan ide Ardian untuk ikut bersamanya. Malah, dia kepikiran untuk melempak Ardian melalui jendela. Namun akhirnya dia pasrah, membiarkan Ardian ikut dengan syarat dilarang memeberi tahu keluarganya bahwa dia sudah melamarnya.

***

Perjalanan dari bandara sampai rumah Sita yang hanya satu jam terasa sangatlama. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena laki-laki di sampingnya. Mungkin Sita perlu membawa Ardian ke orang pintar. Bagaimana tidak? Dari tadi dia tersenyum, hal yang sangat langka untuk Sita.

"Rumah kamu masih jauh?" tanya Ardian untuk ketiga kalinya.

"Nggak, habis ini udah masuk ke gang." Taksi online yang mereka tumpangi berbelok, masuk ke jalan pedesaan.

Begitu mobil berhenti, Ardian menatap kagum pada rumah Sita. Rumahnya besar, mungkin hampir tiga kali lebih besar dari rumahnya. Rumah yang bergaya semi modern itu tampaksangat menonjol dibanding rumah-rumah si sebelahnya. Berbeda dari rumah besar yang sering ia lihat, rumah Sita tidak memiliki tembok besar yang mengelilinginya, jadi bisa dengan mudah berinteraksi dengan tetangga.

Turun dari mobil, Sita langsung disambut oleh seorang tetangga. Ardian mengamati wajah Sita yang semakin masam ketika tetangga itu menyapa.

"Ya ampun Mbak Sita, udah lama ya nggaka ketemu?"

"Iya. Bu Amina gimana kabarnya?"

"Kabar saya baik. Baru bulan lalu Ratih melahirkan, eh, seminggu yang lalu saya dapat kabar menantu saya hamil."

"Wah, selamat ya Bu," ucap Sita sedikit malas.

"Kamu kapan nyusul? Masih kepikiran ya sama yang kemarin?" Bu Amina menyadari kehadiran Ardian. "Eh, ini siapa? Calonnya yang baru? Belum setahun gagal nikah udah dapat yang baru ya, Mbak?" oceh Bu Amina membuat Sita kesal. Ardian yang mendengar saja rasanya panas, apalagi Sita yang disindir?.

"Sita? Kamu udah pulang? Maaf ya Bu Amina, Sita pasti capek." Reza muncul dan langsung menarik tangan Sita beserta kopernya. Reza sepertinya belum menyadari keberadaan Ardian yang mengekor mereka.

"Ibu!" Sita merentangkan tangan saat seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah.

"Ya ampun Sita, kamu pulang kok nggak bilang-bilang?"

"Kan mau ngasih kejutan. Ayah mana?"

"Ayah lagi nemenin Darto beli panci baru. Lho, itu siapa, Dek?" Reza mengikuti mata ibunya, lalu mengernyit saat mendapati Ardian di ambang pintu.

"Kenalin, Bu, saya Ardian." Ardian menyalami Rini, ibunda Sita. Dia juga menyalami Reza yang sedang menatapnya dari atas sampai bawah. "saya atasan Sita di kantor," lanjut Ardian.

"Pak Ardian ada urusan di Magelang, makanya ikut. Iya kan, Pak?" Sita menyenggol lengan Ardian.

"Iya, saya ada keperluan di sini. Karena itu saya mau minta izin untuk menginap di sini selama saya di Magelang." Ardian tersenyum, sementara Sita telah menatap Ardian kesal.

"Emangnya Pak Ardian nggak bisa nginep di hotel? Hotel Magelang bagus-bagus, kok."

"Tata, ada tamu mau nginep kok diusir?" Seorang pria bertubuh tegap menepuk pundak Ardian dari belakang. Ardian tebak dia adalah ayah Sita.

"Ayah ngizinin Pak Ardian nginep?" Sita protes. Ardian buru-buru menyalami pria itu.

"Nggak papa, Dek, kasihan kalau harus nyari hotel. Iya kan, Mas?" Rini meminta pendapat Reza. Sementara Adi, ayah Sita sudah masuk terlebih dahulu.

"Kalau dia macam-macam gimana, Bu?" Reza menatap Ardian sinis, menampakkan dengan jelas rasa tidak suka. Maklum, pengalaman Sita terakhir masih membekas di hatinya.

"Nggak, dong, orangnya kelihatan baik gini. Yuk, nak, Ardilan?"

"Ardian, Tante"

"Yuk Ardian, tante antar ke kamar. Rumah tante banyak kok kamar kosong." Rini menggandeng Ardian masuk ke dalam, meninggalkan Sita dan Reza di ruang tamu.

"Itu atasan kamu beneran?"

"Iya," jawab Sita singkat.

"Kok kamu bisa bawa dia ke sini?"

"Ceritanya panjang, Mas. Udah ya Sita mau istirahat." Sita berjalan menuju kamar, kopernya sudah dibawa masuk oleh salah satu asisten rumah tangga.

***

Sop salmon di piring Sita belum tersentuh sama sekali. Padahal itu adalah makanan kesukaannya dari kecil. Mata Sita sibuk menatap Ardian yang sedang makan sambil mengobrol dengan orang tuanya. Heran, bagaiman mungkin mereka langsung akrab padahal belum semalam?.

"Assalamualaikum." Suara tiga orang lelaki membuat semua menoleh. Ada Reza yang tadi sudah pulang, di sebelahnya ada Ilham dan Tara. Sita mengernyit melihat penampilan Ilham dan Tara. Yang satu masih memakai jas dokter, yang satu terlihat berantakan.

"Kak Ilham nggak ada pasien?" tanya Sita saat ketiga kakaknya sudah ikut duduk.

"Nggak, kakak udah minta dokter lain gantiin."

"Kalau kak Tara? Bukannya masih di Bali?"

"Ini barusan sampai. Masa iya adiknya pulang nggak disambut. Apalagi pulangnya sama...," kalimat Tara terputus, dia melirik curiga ke Ardian.

"Ah, saya Ardian." Ardian menyalami mereka satu persatu.

Rini mengambilkan makan untuk ketiga anak lelakinya, sebelum berkata, "Ardian tuh orangnya baik, lho. Masih muda tapi udah sukses."

Ardian tersenyum mendengar pujian Rini.

"Yang baik di luar belum tentu baik di dalam, kan?" ujar Tara sambil menyendok makanannya.

"Apa, sih, Mas?" Sita menggerutu. "Pak Ardian kan cuma,"

"Pak?" potong Ilham. "Berapa umur kamu?" Ilham melirik Ardian.

"Tahun ini tiga puluh, Mas."

"Oh, tiga puluh, masih lebih tua saya, dong." Tara melirik Ardian.

"Mas Tara, Ardian mau makan, lho." Rini mengingatkan putra keduanya itu. Tara mendengus, mencari pembelaan, tapi tak ada yang menghiraukannya.

***

Boss IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang